Dalam satu kelakar dengan murid – murid, saya menerangkan hasil pengukuran suhu tubuh orang – orang yang akan masuk ke mall terukur sama - normal, termasuk saya. Namun ketika di hari yang sama, selisih satu jam, saya harus diperiksa di rumah sakit, suhu tubuh saya melebihi batas ambang normal.Â
Jangan – jangan di masa pandemi ini, telah ditemukan berjenis – jenis derajat pengukuran suhu, bukan lagi dalam derajat Celcius atau Fahrenheit (yang tidak umum), namun dalam derajat mall A, derajat RS B, atau derajat sekolah C. Seru juga! Jika tidak ada yang bertanggung – jawab terhadap kalibrasi alat ukur suhu, akhirnya aktivitas tersebut menjadi sebuah formalitas belaka.
Serpih Pengalaman Kala Pandemi Memuncak
Cerita lain yang masih terkait, bulan Juli 2021, sekitar enam warga komplek perumahan kami tertular SARS – CoV2 dalam tingkatan ringan – sedang. Masing – masing dari keluarga yang berbeda dan tidak tertular dari satu sumber. Artinya kemungkinan besar mereka tertular di tempat mereka bekerja/beraktivitas masing – masing dan membawa pulang virus SARS – CoV2 ke komplek perumahan kami.Â
Sebagian dari mereka mengambil keputusan untuk ‘diam’ dan hanya memberitahukan ke warga terdekat. Mereka melakukan isolasi mandiri di rumah masing – masing dengan memanfaatkan telemedicine untuk mendukung penyembuhannya. Kala itu, kami sekeluarga tenang – tenang saja karena tidak tahu! Bahkan saat daerah kami menjadi zona merah, saya dan istri yang dalam ketidaktahuan, tetap berangkat kerja – bersosialisasi dengan rekan – rekan komunitas.
Kondisi seperti cerita di atas sangat mungkin terjadi pada siapapun. Ada yang hanya diam dan ada yang dalam ketidaktahuan. Meskipun terbersit kejengkelan mengapa informasi warga suspect lambat kami ketahui, namun seandainya cepat mengetahui pun tidak terlalu berguna. Kami bertetangga, tetap bertegur-sapa, dan saling berdoa – berempati untuk kesembuhan bersama.
Serpih Pengalaman Berjuang Menghidupi Keluarga
Ada juga tetangga yang memaksa bekerja, walaupun beberapa anggota keluarganya telah bergejala COVID – 19. Siapa yang berhak melarangnya untuk berjuang menghidupi keluarga di masa pandemi? Apalagi tidak ada pengakuan suspect COVID – 19, sengaja tidak memeriksakan diri ke instansi kesehatan, takut seandainya harus isolasi mandiri karena akan berpengaruh pada dapur harian. Akibatnya teman kerja tidak mendapat informasi tentang kesehatannya. Bayangkan, seandainya tetangga tersebut adalah saya, anda atau anggota komunitas kita, yang karena kewajiban dan semangatnya, mengusahakan diri untuk tetap hadir WFO, tidak mengakui sakitnya. Apakah realitas ini menjadi bagian yang harus kita maklumi juga?
Konklusi: Imunitas Tubuh sebagai Puncak – Penting Perhatian para Pejuang WFO
Dalam serpih - serpih pengalaman di atas, sedikit terdeskripsi tingkat kengeyelan dalam masyarakat. Kengeyelan yang bisa terjadi dan dilakukan oleh saya, anda, dan rekan kerja. Kalau saya refleksikan, kengeyelan yang mungkin terjadi pada diri saya bukan karena tidak tahu atau mengabaikan bahaya COVID – 19. Kadang kengeyelan itu, dengan ukuran kita masing - masing, masih dianggap pada batas kewajaran, terjadi begitu saja dan sadar ada unsur bertaruh resiko.   Â
Diperbolehkan bekerja di kantor sebenarnya dapat dipandang sebagai bentuk kepercayaan pimpinan. Kita dianggap sebagai manusia yang dianugerahi sehat sekaligus mengemban misi bertanggung jawab untuk saling menjaga kesehatan dalam komunitas. Diperbolehkan bekerja kembali di kantor menjadi jawaban rindu – kebersamaan tatkala pandemi COVID – 19 telah masuk PPKM level 2. Perjumpaan langsung kita alami bersama dengan rekan – rekan kerja.