Mohon tunggu...
Ahdanal Halim
Ahdanal Halim Mohon Tunggu... -

Seorang santri yang akan mengubah dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Patriot Bangsa

22 Maret 2012   02:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:38 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam peteng merundung sukma, rasa gundah membahana bak perang dunia kedua , ditambah amarah yang berkecamuk bak nafsu hitler dan Nazi  untuk menguasai dunia, itulah yang sedang dialami oleh Yosi. Hatinya hancur berkeping-keping setelah mendengar bahwa ibunya telah tiada. MengapaTuhan tega berlaku sesukanya, pendamnya dalam hati. Padahal, dikanan-kiri Yosi masih terdapat anak-anak kecil yang masih belum tersentuh kasih sayang dan belaianlembutnya.Khabar kematian yang datangnya tiba- tiba bak luapan air Situ gintung yang mengkikis apa yang dilaluinya termasuk hati kecilnya. Pada saat Kepergian Ibunya ia sedang berada di luarkota.Ia sedang mencari Ilmu tuk membahagiakan kedua orang tuanya. Ia mencoba mengingat kelembutan hati bundanya sambil meneteskan buih-buih air matanya yang belum kering.

Dimulai dari ia masih bayi aku slalu disuapi bubur yang dibuat sendiri dengan tangan lembutnya, tak jarang sesekal ibu menggendongku sembari menyanyikan lagu deso untuk membuatku mau makan. Ketika aku kencing di pangkuannya tak jarang ia berkata, " Ayo nang lebih banyak lagi supaya racun di tubuhmu hilang" dengan tangannya yang mengusapkan kain pel agar airnya tidak melebar. Tak sampai disitu ibu selalu menemaniku ke sekolah pertama saat umur 5 tahun. Panas yang terik , hujan badai, tak menyurutkan niatnya untuk mengantarku menuju cita citaku. Menahan sinar ultraviolet yang membakar tubuh dan menahan udara dingin yang menusuk lubang-lubang kecil kulit tubuhnya iaberkorban untukku. Saat aku dimaki-maki oleh ibu temanku ketika aku tak sengaja menjatuhkan minumanku , ia mati-matian membelaku sembari menahan umpatan-umpatan yang disemprotkan bak hujan abu vulkanik. Pada saat aku dudukdi bangku SD kelas lima Penopang keluargaku meninggal. Ibuku kemudian menjadi tulang punggung pengganti setelah tulang punggung utama telah tiada. Ibuku mencoba untuk tegar disaat kehamilannya yang kedua. Dengan Sisa -sisa tenaga yang dimilikinya ia mencoba untuk membesarkan buah hatinya. Hidup kami memang serba pas-pasan ,untuk mekan saja ibu harus keliling kampung tuk menjajakan jualannya. Disaat adikku mau lahir beben yang ditanggung ibu bukan berat mainnya,ia harus melunasi uang sekolah,membayar rumah kontrakan, dan menjagakehamilannya.  Untung masih ada orang yang berbelas kasihan kepada ibu yang memberikan  sedikit uang. Uang yang sedikit  itu tak ubahnya seperti tetsan hujan di musim kemarau di mata ibuku,sehingga tak jarang ibu mengucapkan rasa terima kasih puluhan kali.

Saat itu tengah malam ,tiba-tiba ibu merintih kesakitan .Aku bingung kenapa ini, apa yang terjadi, padahal ibuku tidak sakit. Kemudian aku berlari sekencangnya menuju rumah paman, dan menceritakan apa yang terjadi. Pamanku secepat kilat menekan tombol telfon dan tak berselang lama paman datang ke rumahku dengan membawa seorang nenek. Nenek itu membawa ember & selimut. Di rumahku aku merasa takut dengan suara rintihan ibuku.Aku disuruh berdoa oleh pamanku yang duduk disamping menemaniku. Tak berselang lama suara bayi membahana di langit-langit rumah.

To Be Continue

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun