Banyak bermunculan Dewa-Dewa baru,
Diagungkan, dipuja-puja
Dewa itu mempunyai kekuasaan
Dengan mudah membuat kebijakan.
Para pemuja datang dengan muka palsu
Tapi Dewa itu tidak tahu.
Ruang hidup Dewa, tak jauh berbeda,
Dengan ruang hidup manusia.
Dengan bagga dia menyebut dirinya;
Dewa … Dewa … Sang Dewa, Sejati!
Pada suatu hari, Dewa itu terlihat gelisah, selalu termenung di bawah pohon aras. Berbeda dengan biasanya, dia selalu riang gembira sekalipun gempa langit terjadi. Kemudian Dewa itu datang pada sebuah sungai yang airnya terdiri dari madu, susu, dan arak, dia membawa bejana besar yang terbuat dari semacam emas, tiba-tiba di tegah galaksi dia melihat manusia aneh yang berputar-puatar mengelilingi bintang berkilau yang cemerlang. Dewa itu menghampiri manusia yang dia lihat, dengan sekejap, manusia itu menghilang, kemudian Dewa itu pergi. Betapa heran Dewa itu di hatinya benar-benar tidak masuk akal manusia menurutnya.
Dari kejauhan, Dewa itu merasakan aura manusia yang berada di tengah galaksi dunia Kosmos seiring dengan meteor yang berjatuhan lalu hancur di tengah selubung atmosfir, kemudian elemenit-elemenit jatuh berhamburan di permukaan planet yang dinamakan—Masokhis, oleh para Dewa. Ketika di rerimbun mutiara hujau yang menetes bening air semacam embun, sebatang pohon Ekstasi menjulang tinggi jauh di langit surga hingga daunnya tak terlihat, Para Dewa hanya bisa melihat daun ketika musim gugur … daunnya dari berlian murni dan bertuliskan huruf—Ba’—merangkum seluruh alam raya, menurut Para Dewa. Dewa itu selalu kagum melihat ciptaannya yang unik itu.
Di tepi sungai itu, tepat di depan matanya para bidadari-bidadari surga telanjang tanpa busana terlihat jelas tubuh mulus dan payudaranya yang montok seimbang sempurna di bawah pancuran susu murni—hanya manusia yang mempunyai pikiran porno, ungkapnya dalam hati. Dan Dewa tidak mempunyai pikiran semacam itu aku adalah Dewa. Mereka para manusia yang dengan perangkat hasrat mencari harta, tahta dan seksual, itulah dasar kebahagiaan mereka, berbeda dengan aku tanpa jenis kelamin—tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak laki-laki dan tidak perempuan, aku tidak membutuhkan apapun.
Bejana emas itu sudah penuh susu, kini Dewa terbang ke neraka, memberi bonus para Setan yang telah berjasa menggoda manusia. Sudah menjadi takdir, Setan menjadi elite di neraka, seperti Abu Lahab yang kadang diangkat ke surga karena telah berjasa—merawat Sang Nabi. Di tengah-tengah lautan kosmos, manusia itu terlihat lagi berputar-putar mengelilingi bintang. Kini Dewa itu mendekatinya.
“Manusia?!”
“Bukan, Androgin,” jawab manusia itu, “aku hanya ingin berubah menjadi Dewa, seperti Yesus, manusia sekaligus Dewa,” lanjutnya berbicara.
“Apa yang kamu lakukan di lautan kosmos ini?” Dewa bertanya tegas.
“transformasi dari raga menjadi jiwa yang murni,” jawabnya lantang. Aku adalah kandidat Dewa …
...........................
“Manusia memang bisa menjadi Dewa. Akan didewakan oleh sesamanya, jika memiliki kebijakan dan kekuasaan, serta mampu merubah nasib sesamanya dengan materi,” ujar Manusia itu, “dan, jika tidak bisa berbuat banyak, tidak punya materi bisa dianggap setan bagi sesamanya.”
“Cepat turun!”
“Tidak bisa. Aku bosan dengan duniaku yang penuh Paradoks,”
“Bukan takdir-Mu di sini …”
“Ya, jika itu anggapmu. Tapi aku ingin melawan takdir, dan merubah tentunya,” bantah manusia itu, “aku sudah tak sudi didewakan oleh para manusia-manusia palsu.” Lanjutnya.
“Kenapa bisa seperti itu?” Dewa bertanya.
“Kamu, Dewa. Harusnya kamu tahu,”
“Kamu mau membantah Dewa?”
“Tanpa mengurangi rasa hormat, Dewa. Tapi aku adalah kandidat Dewa di planet Masokhis, dan para manusia menyembahku layaknya menyembah diri-Mu karena aku bisa melakukan segalanya di planet itu; membunuh, mematikan, menindas, semua bidadari di planet itu bisa aku dapatkan, bahkan kebijakan bisa aku beli dengan uangku, dan seterusnya dan seterusnya.” Demikian jelas manusia itu.
“Kamu sungguh kelewatan,”
“Ya, karena realitas sudah seperti drama di panggung teater.”
“Betul, aku yang bikin seperti itu,” ujar Dewa seraya menunjuk planet Masokhis yang dari kejauhan seperti fatamorgana ada tapi tidak ada.
Di dunia Kosmos, di sana banyak bintang bertebaran berkerlip menyelimuti planet-planet. Bintang itu, kadang terjatuh, bertabrakan dengan bintang lain dan menjadi semacam percikan api kecil di ruang-ruang galaksi lalu hilang menjadi ruang hampa. Antara surga, neraka dan dunia kosmos seperti garis pada segitiga sama sisi, bila hilang salah satu garisnya, segitiga tidak akan berwujud dan merubah pada wujud lain, sangat dekat jarak ketiganya, sesuai ukuran waktu di sana— seribu hari di planet Masokhis, satu hari di dunia Kosmos. Umur di dunia kosmos tidak terbatas, menurut mereka yang mengetahui, umur penghuninya tiga puluh tiga tahun secara permanen. Seperti di dunia imajinasi, laki-laki dan perempuan hidup berdampingan di bawah rengkuhan para Dewa.
Banyak komet-komet Lintang Kemukus melaju mendarat kencang di dalam balutan awan biru. Dunia Kosmos, sebuah dunia yang bebas tak terbatas dan mudah berganti warna.
Di neraka, Setan sudah menunggu bonus dari dewa, air susu murni dari sungai surga bosan dengan senapan malaikat Zabaniah yang menembus jantungnya sepanjang hari, mengkoyak-koyak tubuhnya remuk lalu kembali utuh. Atau kadang racun hetinho yang merusak pembuluh darahnya, dan mati perlahan sakit kemudian dihidupkan kembali. Dia rindu terhadap bidadari-bidadari atau pageran-pangeran surga yang dulu pernah memuaskan hasrat libidonya. Tapi kini, demiidealismenya dia dikutuk oleh Dewa agar mengendap di neraka selamanya.
“Dewa, bolehkah aku bertanya?” cetus manusia itu.
“Ada apa?”
“Begini Dewa, kenapa ya, gambaran secara prinsip dunia Kosmos kok seperti di dunia Masokhis?” Diam sejenak, “Tak berbeda, gambaran bentuknya pun sama—ada laki-laki ada perempuan, ada makanan, ada minuman, ada hiburan, ada penyiksaan, ada bahagia, ada sedih, dan seterusnya dan seterusnya. Hanya di sini selalu terpenuhi dengan pasti dan di sana semuanya serba mungkin. Oh iya Dewa, aku yang paling heran—perempuan selalu menjadi obyek kesempurnaan” Ungkap manusia itu dengan tatapan mata serius.
“Karena hanya itu yang kamu ketahui,” jawab Dewa.
“Magsudnya bagaimana, Dewa?” Manusia itu tampak kebingungan.
“Ya, kamu belum pantas menjadi Kandidat Dewa.”
“Hemmm …” manusia itu semakin bingung.
…………….
… ……..
… …
…
Allah!! Astaghfirullahala’dziim …
Tiba-tiba aku terbagun nafasku terengah-engah dengan tubuh penuh keringat, aku belum sholat ashar. Tampaknya matahari sudah hampir terbenam, dari jendela kamarku mega tampak kemerah-merahan lembayung senja, hari sudah sore. Di sampingku, buku Republik karya Plato masih tergeletak, aku baru ingat kalau sebelum tidur aku membacanya sambil merebahkan tubuh di atas dipan. Ketika aku bangun, nyawaku terasa belum genap sehingga, aku tampak seperti orang linglung. Waktu itu badanku terasa capek setelah paginya ada semacam diskusi dengan teman-teman, kemudian kesadaranku mulai pulih dan ingatanku mualai mengumpul. Jadi aku sebelum tidur, waktu itu membaca buku Republik karya Plato, di sana ada dialog antara Socrates dan Heraklitus tentang Mistisisme dan Logika, dan ahirnya tertidur kemudian bermimpi []
Tuban, 29 Januari 2012.
Sahabatmu,
Ahdal Max
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H