Genting berkarat mengatap
Karatnya membuat ingat bahwa
Oksidasi, beriring menuju tanah menatap
Tegar dan hanya proses mengikis jua
Helaan angin yang merombeng atas Itu
Banyak telah mencukil -
Cukil, dari sebelum apa yang harus lalu
Dari setelah panas matahari labil
Lalu langit rekah, malu, ulang (pernah)
Pedihnya menggetir liar pada logam
Mencari dengan harap bunyi pengang
Lalu kau bilang petir banyak Itu bergumam
“…lalu apa harus ku tahu atas gerakku”
“Apa harus Ku hidup? Ku hidup!”
Pohon, antenna, korban dengan asap baru
“Dan dimana? Penghentian, batas batas gerak”
Ribu dari sekian volta yang juga baru
Langit mendadak muda, atau cuma aku? (Aku?)
Hitam punya rambut mengabu mendesir
Setiap yang dibawah bergerak tahu
Sebentar kebawah, jatuh menyisir
Rintik lah pertama basah dirinya
Rintiklah menjadi Kan awal
Genangan! Kau iya mulai peduli juga
Iya kau ingat-ingat begitu kental
Makin pekat bersua
Makin rapat, layak kekal
Kau sementara keras usaha untuk sadar
Sadar akan kata yang hilang
Sadar bahwa segar setetes dan tetes lapar
Mendekap suaranya seolah berdentang
Semenjak atap Itu meronta karna diterpa
Kau sudah tau dan peka harus
Analogi dan majas dari hidup mu dalam kata
“Ya tentu! Hujan! (Tangis) Hujan!”
Jangan diam dan awan jangan! Terus!
Bertapa kau lupa gravitasi
Betapa kau lupa muara yang bercampur
Awan lama telah benci
Kini dia korbankan untuk sebagian menuju lumpur
Untuk fajar
Fajar kehidupan satu wanita
Sesiapa sekarang menangis sambil menghujat
“HUJAN LAH YANG HARUS JATUH !”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H