Mohon tunggu...
Ahan Syahrul Arifin
Ahan Syahrul Arifin Mohon Tunggu... Direktur Sang Gerilya Institue -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Stop Impor Pekerja Asing!

15 Juli 2016   22:48 Diperbarui: 16 Juli 2016   11:26 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu pekerja asing yang menyerbu Indonesia makin mengemuka. Dari grup-grup WhatsApp, FB, maupun BBM secara berantai tersebar luar berita kedatangan 10 juta pekerja asal China. Bahkan secara spesial, Yusril Ihza Mahendra melalui akun Twitter-nya mengkritisi kebijakan tersebut. Utamanya soal kebijakan bebas visa untuk 196 negara.

Isu impor pekerja asing sebelumnya juga diwacanakan Menteri Ristek terkait dengan jabatan rektor universitas yang boleh dijabat orang asing. Tak pelak, pro dan kontra menggelinding bak bola salju.

Geger pekerja asing sebelumnya juga sudah terjadi setelah 5 warga China tertangkap tangan menggali tanah di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta. Pekerjaan kasar ternyata sudah juga diimpor? Informasi kedatangan tenaga kerja asing yang juga bekerja di sektor-sektor yang selama ini dianggap kelas teri, rendahan, pekerja kasar, tukang sapu, tukang masak, hingga sopir-sopir angkut mulai menyeruak memasuki wilayah Indonesia.

Informasi-informasi yang menyatakan pekerja kasar di pertambangan sudah merupakan pekerja asing juga banyak ditemukan di ranah media sosial. Pekerja kasar ini datang bersamaan dengan proyek-proyek negara yang sumber dananya berasal dari investor asing.

Para pemberi bantuan atau pemberi hutang dengan berbagai persyaratannya juga memasukkan klausul pelaksana dari proyek terkait dengan melibatkan tenaga kerja dari negara asalnya. Disinyalir berbagai proyek-proyek pertambangan dengan investasi besar dari China tak hanya membawa uang tetapi juga buruh-buruh kasarnya.

Wajar jika banyak tersebar informasi tentang ditemukannya warga China di pertambangan maupun di pintu-pintu masuk seperti bandara dan pelabuhan.

Pemerintah memang tidak mengizinkan pekerja kelas bawah ini masuk di wilayah Indonesia. Aturannya jelas dan tegas, namun fakta di lapangan berbicara lain. Jika mengikuti aturan mereka tidak akan bisa masuk. Pekerja kasar juga tidak ada dalam data Kemenaker, selain dibawa perusahaan dari negara investor.

Pekerja-pekerja kasar ini biasanya memang memasuki wilayah Indonesia dengan cara “illegal”, tak berizin dari kementerian/lembaga terkait. Mereka umumnya masuk melalui visa wisata, lalu tak kembali ke negara asalnya, dengan sedikit uang tips mereka bisa mendapatkan KTP Indonesia dengan mudah.

Parahnya, beberapa temuan juga menyebutkan para tenaga kerja kasar yang dikirim ke Indonesia tak lain adalah para tahanan. Situasi ini akan sangat berbahaya jika mereka adalah intel atupun tentara.

Indonesia memang butuh asung investasi untuk mendorong perekonomian yang sedang lesu. Dorongan untuk mempermudah investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tak bisa dihindarkan, apalagi di saat pendapatan negara “seret” untuk menciptakan lapangan kerja baru.

Tentu juga sangat disayangkan, jika investasi asing yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tinggi tak dinikmati tenaga kerja Indonesia sendiri.  Apa guna pertumbuhan ekonomi tinggi, pembangunan besar-besaran tetapi dampaknya bukan untuk penduduk Indonesia sendiri.

Pemerintah perlu serius memperhatikan kedatangan TKA-TKA asing yang menggusur wilayah kerja tenaga-tenaga kerja Indonesia, utamanya pada sektor-sektor menengah ke bawah. Apalagi faktanya, dalam setahun terakhir (Februari 2015–Februari 2016), pekerja informal bertambah sebanyak 300 ribu orang, dan persentase pekerja informal meningkat dari 57,94 persen pada Februari 2015 menjadi 58,28 persen pada Februari 2016.

Belum lagi jika melihat dominasi kualifikasi pekerja Indonesia yang masih berpendidikan rendah. Pekerja Indonesia umumnya berpendidikan SD ke bawah sebanyak 52,4 juta orang (43,46 persen). Hanya  13,7 juta orang yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi yang mencakup sebanyak 3,2 juta orang (2,65 persen) berpendidikan diploma dan sebanyak 10,5 juta orang (8,69 persen) berpendidikan universitas.

Situasi makin runyam jika dihadapkan dengan rencana Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) untuk merasionalisasi jumlah Pegawai Negeri Sipil (baca : Aparatur Sipil Negara/ASN) sebanyak 1 juta pegawai. Konsekuensinya jumlah pengangguran akan meningkat di tengah situsi mencari pekerjaan yang semakin susah.

Kesempatan bekerja mengecil, persaingan makin ketat, kompetensi masih “memble”. Situasi pelik bagi ketenagakerjaan Indonesia. Dalam konteks kompetensi kualitas tenaga kerja Indonesia, masalah ini hanya dapat diselesaikan dengan jangka panjang. Sinkronisasi antara dunia pendidikan dengan dengan dunia kerja harus dilakukan dengan baik. Tanpa sinkronisasi dan harmonisasi antara pendidikan dan dunia kerja, hasilnya juga akan nihil.

Sebagaimana kita ketahui, beberapa tahun belakangan pemerintah menggiat siswa untuk masuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dengan harapan begitu lulus mereka telah memiliki keahlian dan bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

Namun nyatanya, sebagaimana dilansir BPS pada Februari 2016, TPT untuk pendidikan sekolah menengah kejuruan menempati posisi tertinggi, yaitu sebesar 9,84 persen. Artinya antara kebijakan perencanaan dan outputnya tak sinkron. Rencana yang bagus, tanpa penetrasi kebijakan yang tepat juga tak ada manfaatnya.

Maka membiarkan pekerja asing masuk tanpa “reserve” sama sekali. Sama artinya, membuat tenaga kerja Indonesia jadi bulan-bulanan tenaga kerja asing. Iklim investasi memang harus diperbaiki tapi dengan mendorong investor datang beserta pekerjanya sendiri hanya akan menimbulkan gejolak sosial ekonomi yang lebih besar.

Pemerintah harus menerapkan keberpihakan pada tenaga-tenaga kerja Indonesia untuk bekerja wilayah-wilayah strategis untuk dapat alih teknologi dan skill, sekaligus melindung sektor-sektor tenaga kerja “kasar” tak boleh dimasuki tenaga kerja asing. Sudah semestinya pula aturan pemakaian Bahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing kembali diterapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun