Mohon tunggu...
Ahan Syahrul Arifin
Ahan Syahrul Arifin Mohon Tunggu... Direktur Sang Gerilya Institue -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Stop Impor Pekerja Asing!

15 Juli 2016   22:48 Diperbarui: 16 Juli 2016   11:26 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah perlu serius memperhatikan kedatangan TKA-TKA asing yang menggusur wilayah kerja tenaga-tenaga kerja Indonesia, utamanya pada sektor-sektor menengah ke bawah. Apalagi faktanya, dalam setahun terakhir (Februari 2015–Februari 2016), pekerja informal bertambah sebanyak 300 ribu orang, dan persentase pekerja informal meningkat dari 57,94 persen pada Februari 2015 menjadi 58,28 persen pada Februari 2016.

Belum lagi jika melihat dominasi kualifikasi pekerja Indonesia yang masih berpendidikan rendah. Pekerja Indonesia umumnya berpendidikan SD ke bawah sebanyak 52,4 juta orang (43,46 persen). Hanya  13,7 juta orang yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi yang mencakup sebanyak 3,2 juta orang (2,65 persen) berpendidikan diploma dan sebanyak 10,5 juta orang (8,69 persen) berpendidikan universitas.

Situasi makin runyam jika dihadapkan dengan rencana Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) untuk merasionalisasi jumlah Pegawai Negeri Sipil (baca : Aparatur Sipil Negara/ASN) sebanyak 1 juta pegawai. Konsekuensinya jumlah pengangguran akan meningkat di tengah situsi mencari pekerjaan yang semakin susah.

Kesempatan bekerja mengecil, persaingan makin ketat, kompetensi masih “memble”. Situasi pelik bagi ketenagakerjaan Indonesia. Dalam konteks kompetensi kualitas tenaga kerja Indonesia, masalah ini hanya dapat diselesaikan dengan jangka panjang. Sinkronisasi antara dunia pendidikan dengan dengan dunia kerja harus dilakukan dengan baik. Tanpa sinkronisasi dan harmonisasi antara pendidikan dan dunia kerja, hasilnya juga akan nihil.

Sebagaimana kita ketahui, beberapa tahun belakangan pemerintah menggiat siswa untuk masuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dengan harapan begitu lulus mereka telah memiliki keahlian dan bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

Namun nyatanya, sebagaimana dilansir BPS pada Februari 2016, TPT untuk pendidikan sekolah menengah kejuruan menempati posisi tertinggi, yaitu sebesar 9,84 persen. Artinya antara kebijakan perencanaan dan outputnya tak sinkron. Rencana yang bagus, tanpa penetrasi kebijakan yang tepat juga tak ada manfaatnya.

Maka membiarkan pekerja asing masuk tanpa “reserve” sama sekali. Sama artinya, membuat tenaga kerja Indonesia jadi bulan-bulanan tenaga kerja asing. Iklim investasi memang harus diperbaiki tapi dengan mendorong investor datang beserta pekerjanya sendiri hanya akan menimbulkan gejolak sosial ekonomi yang lebih besar.

Pemerintah harus menerapkan keberpihakan pada tenaga-tenaga kerja Indonesia untuk bekerja wilayah-wilayah strategis untuk dapat alih teknologi dan skill, sekaligus melindung sektor-sektor tenaga kerja “kasar” tak boleh dimasuki tenaga kerja asing. Sudah semestinya pula aturan pemakaian Bahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing kembali diterapkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun