Menurut Cohen (2006), pada awal abad XX hanya ada 16 kota di dunia yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa, tetapi kini ada sekitar 400 kota di dunia yang berpenduduk satu juta jiwa atau lebih.
Kota makin diminati, Kota menjadi tujuan hidup banyak orang, kecenderungan orang tinggal di kota terus menerus meningkat. Di Indonesia, saat ini sudah 54 persen tinggal di kota. Tahun depan diperkirakan mencapai 56 persen dan jumlah itu diperkirakan terus meningkat, dan meningkat.
Imajinasi masyarakat tentang kota mengerek percepatan laju urbanisasi. Bagaimana dengan nasib desa ?
Desa, dengan lahirnya UU No 6/2014 memiliki kewenangan yang besar dalam menentukan arah dan fokus pembangunanya. Desa memang tak pernah sepi dari konstetasi baik ideologi, ekonomi, budaya maupun politik.
Terbukti, seksinya desa menjadi lahan rebutan antara dua kementerian yang notebene menteri-menterinya berasa dari partai politik. Apalagi yang jadi alibi, kalau bukan seksinya desa karena dana desa dan peluang meraup suara pada pemilu mendatang.
Atas tengara itu, ketika titik kompromi diambil dengan memberikan kewenangan pengelolaan desa dibawah dua Kementerian : Kementerian Dalam Negeri mengurus soal pemerintahan desa dan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi membidani soal pembangunan desa.
Harapan UU Desa agar eksekusi mengenai desa menjadi satu pintu menguap ditelan kepentingan pragmatis politisi. Ditengah tarik ulur kepentingan semacam ini, desa bukanlah anasir yang bebas nilai.
Dengan besarnya dana yang masuk ke desa, desa akan jadi panggung pertarungan beragam kepentingan. Lalu pertanyaanya, apakah dana desa yang akan dikucurkan langsung ke desa akan efektif sebagaimana tujuannya?. Apakah pula data-data Potensi Desa (Podes) dari BPS cukup menggambarkan model untuk membangun desa?. Apakah Musrenbang desa bisa mengambil kata sepakat untuk rencana pembangunan.
Perencanaan desa akan jadi titik tumpu utamanya. Bahkan disebutkan, RPJMDes dan RKPDes menjadi prasyarat utama cairnya anggaran desa. Problem peliknya, banyak desa yang melakukan copy paste terhadap rencana pembangunan.
Jika ini yang terjadi, rencana pembangunan desa otomatis tidak mencerminkan potensi dan kebutuhan masyarakat. Perencanaan akan jadi titik krusial, salah menentukan langkah dan prioritas juga.
Pemetaan potensi tak cukup dengan model partisipatif ataupun mengacu pada data Podes, melainkan perlu sentuhan teknologi canggih. Wacana drone untuk desa yang dikembangkan IPB sebagai salah satu alat untuk memetakan wilayah dan potensi desa perlu jadi rujukan penting.