Mohon tunggu...
Ahan Syahrul Arifin
Ahan Syahrul Arifin Mohon Tunggu... Direktur Sang Gerilya Institue -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Demokrasi Desa

27 Juli 2015   10:00 Diperbarui: 27 Juli 2015   10:00 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beragam kekhawatiran mengenai penerapan UU Desa, dimana desa akan jadi “sarang” baru koruptor. Maupun ulasan bernada optimisme patut jadi perhatian bersama.

Apalagi ditengarai, dana desa terancam tidak bisa dicarikan jika konflik pengelolaan desa tak kunjung menemukan titik temu. Bahkan, perebutan Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat dan Desa antara Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dan Kementerian Dalam Negeri eskalasinya menyeret partai politik background menterinya.

Eksekusi pelaksanaan, pengelolaan dan distribusi dana desa pastinya akan menghambat laju optimisme maupun pesimisme yang berkembang. Karena meski akan ditransfer, tanpa kementerian terkait, anggaran desa akan mandek di perbendaharaan negara. Ketakutan dana desa akan dikorup maupun kebermanfaat bagi kesejahteraan dengan sendirinya akan sirna.

Dalam konteks ini, nomenklatur kementerian yang jelas harus segera disusun oleh Jokowi-JK, utamanya menyelesaikan polemik penanganan dana desa. Jika merunut UU No 6/2014 yang tentunya berhak menangai penerapanya adalah menteri yang menangai desa. Menteri yang menangai desa sebagaiman disebutkan dalam aturan penjelasan adalah Menteri Dalam Negeri.

Namun, dengan lahirnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dengan landasan pokok yang melatarbelakanginya. Ada alasan tertentu kenapa pengelolaan desa harus diatur dalam satu kementerian khusus. Polemik ini tidak boleh diperpanjang, apalagi jika penanganan desa dibawah dua kementerian. Kekacauan dan keributan yang akan ditimbulkan olehnya.

Jokowi harus ambil bagian dengan segera, karena pengelolaan desa menyangkut hajat masyarakat pedesaan dimana semua permasalahan mendasar bangsa berada disana. Mulai dari tenaga kerja yang rendah, bayi kurang gizi, ibu hamil resiko tinggi, ketertinggalan, keterbelakangan, anak putus sekolah hingga tingkat kemiskinan semuanya ada di desa.

Tertinggalnya wajah pembangunan desa dapat diteropong dari angka kemiskinan yang jauh lebih tinggi daripada di kota. Pada September 2014, misalnya, angka kemiskinan di pedesaan 13,76 persen, sementara di perkotaan sebesar 8,16 persen (BPS, 2011). Menyelesaikan polemik siapa yang berhak menangai penerapan UU Desa menjadi pekerjaan rumah pertama sebelum dana desa ditransfer.

 

Stimulus Demokrasi Desa

Menyangkut banyaknya kekhawatiran akan penerapan UU Desa. Kekhawatiran tersebut wajar adanya, namun jangan sampai menyurutkan peluang kesejahteraan masyarakat dari penerapan UU Desa. Terkait kekhawatiran anggaran desa akan dijadikan ruang korupsi bagi kepala desa. Kekhawatirakan tersebut jangan dibesar-besarkan.

Menurut anggapan penulis, kekhawatiran dilandaskan dari besarnya kewenangan desa karena asas rekognisi dan subsidiaritas. Asas yang memberikan jaminan atas keragaman desa, kedudukan dan kewenangan desa dalam mengatur jalanya pemerintahan desa. Asas yang berkonsekuensi, desa memiliki anggaran sendiri dalam mengelola pembangunan desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun