11 Febuari 2024 adalah hari istimewa bagi timnas Qatar, khususnya pemain andalannya, Akram Afif. Tiga golnya dari titik putih membuat squad Al-Annabi atau The Maroons unggul 3-1 atas Jordania, yang hanya bisa membalas melalui gol Yazan Al-Naimat. Stadion Lusail, yang juga tempat Argentina menjadi Juara dunia 2022 menjadi saksi selebrasi tiada henti atas pencapaian tim asuhan Tintin Marquez.Â
Dengan hasil ini, secara resmi menjadikan Qatar sebagai negara ke lima yang menjadi juara Asia dua kali beruntun (2019 & 2024). sebelumnya, predikat back-to-back winner menjadi milik Korea Selatan (1956-1960), Saudi Arabia (1984-1988), Jepang (2000 & 2004), dan Iran yang berhasil melakukan three-peat alias juara tiga kali beruntun (1968, 1972, 1976). Sangat mungkin kemudian bagi Qatar untuk mengejar pencapaian yang sama seperti Iran di edisi Piala Asia selanjutnya.Â
Perjalanan juara sekaligus tuan rumah Piala Asia 2023 sempat cukup diragukan di awal kompetisi. Meski tampil sebagai juara bertahan, para pengamat sepak bola Asia masih mengunggulkan tim-tim yang menjadi langganan Piala Dunia seperti Jepang, Korea Selatan, Iran, Saudi Arabia dan Australia yang dihuni pemain-pemain top yang berlaga di liga bergengsi di Eropa. Sebut Saja Kim Min Jae (Bayern Munich), Son Heung Min (Tottenham Hotspur), Endo (Liverpool), Mahdi Taremi (Porto) dan masih banyak lagi. Uniknya, kecemerlangan The Maroons justru datang dari skuad yang diisi oleh pemain yang berlaga di liga lokal yakni Qatar Stars League (QSL).
Lantas, apa yang membuat sepak bola Qatar begitu beprestasi?
Jika ditarik ke edisi Piala Asia di era 80an, 90an dan 2000an, partisipasi Qatar seringkali berhenti di fase grup, paling tinggi di babak 16 besar. Perubahan sepakbola Qatar yang ambisius harus dilalui melalui proses yang panjang dan berliku. Kerja keras dari pemerintah Qatar melalui Qatar Football Association (QFA) untuk menyediakan fasilitas, kompetisi dan pembinaan yang memadai telah terjadi di era 2000an.Â
Di saat yang sama Kompetisi liga QSL telah mengalami perkembangan pesat selama hampir dua dekade terakhir. Kedatangan Xavi Hernandez sebagai pelatih Klub Al-Sadd di tahun 2015 telah mewarnai corak sepak bola Qatar. Pelatih Nasional dari Spanyol dan Portugal didatangkan dalam sepuluh tahun terakhir telah membentuk corak sepakbola tersendiri bagi timnas Qatar. Tidak hanya itu, salah satu Emir Qatar, Tamim bin Hamad Al-Thani salah satu pemegang saham Qatar Sports Investment telah membeli klub asal Perancis, Paris Saint Germain pada tahun 2011.Â
Ambisi dari Royal Family Qatar khususnya Syaikh Tamim Bin Hamad Al-Thani merupakan faktor utama dalam kesuksesan Sepak Bola Qatar. Kesadaran akan populasi yang sedikit, Qatar memanfaatkan kekuatan finansialnya khususnya dari bisnis minyak dan gas alam untuk merekrut profesional dari Eropa. Seorang Direktur Pusat Pelatihan Olimpiade Jerman, Andreas Bleicher diundang oleh Pemerintah Qatar di tahun 2004 untuk menyusun program ambisius yang dapat menjadikan sepak bola di Qatar dari yang sebelumnya medioker menjadi dihormati di dunia.Â
Bleicher merekrut Josep Colomer, mantan staff di Barcelona FC yang bertugas merekrut pemain muda potensial. Colomer dikenal sebagai seorang yang menemukan bakat Lionel Messi melalui pengamatan yang jeli.Â
Lantas, Colomer melakukan scouting kepada talenta muda berbakat dari Afrika untuk diberikan beasiswa berlatih di Aspire Academy, sebuah akademi sepak bola bergensi di Qatar. dengan program ini, Bleicher yakin bahwa para pemain muda akan tertarik menjadi pemain nasional Qatar melalui program naturalisasi. Pada tahun 2007, pencarian talenta muda berbakat dilakukan dengan menargetkan pada Benua Afrika berfokus pada tujuh negara ; Maroko, Kamerun, Ghana, Kenya, Nigeria, Senegal dan Afrika Selatan.Â
Proses scouting dimulai dengan mengamati pertandingan di setiap local training center. Kemudian menyeleksi 50 pemain muda dari setiap negara untuk berlatih hingga mendapati tiga terbaik dari setiap negara untuk diundang ke Aspire Academy, Doha. Tiga pemain muda ini kemudian diberikan fasilitas yang mana negara mereka tidak pernah memberi.Â
Program ini lambat laun mengalami perluasan area scouting, menjadi 17 negara, termasuk di Amerika (Guatemala, Kosta Rika dan Paraguay) dan Asia (Vietnam dan Thailand). Dengan membludaknya minat, seluruh pembinaan talenta terpilih tidak diadakan hanya di Qatar, tapi juga diadakan di Senegal. Dengan skema rekrutmen ini, tidak heran jika kualitas pemain Qatar cukup meningkat pesat.