Sore tadi, seperti biasa waktu senggang, Ibuku sedang duduk di teras rumah sambil baca pesan beruntun di grup whatsapp (wa) emak-emak kelurahan semi-perumahan. Kali ini lumayan heboh, karena tetangga sebelah membagikan daftar produk perancis sebagai bentuk boikot atas kasus pernyataan Presiden Perancis, Emmanuel Macron beberapa waktu lalu.
Sebagai tipikal ibu-ibu pada umumnya yang selalu bereaksi, pesan itu sedikit banyak berdampak pada ibu saya. Pastinya, saya pikir, broadcast itu sudah menyebar luas, tidak hanya seatero RT/RW, tapi bisa jadi sebagian kota di penjuru negeri ini.
Salah satu produk minuman gelas Aqua yang biasanya untuk menjamu tamu kebetulan ada dalam daftar di grup wa itu. Seketika itu pula, Ibuku masuk ruang tamu dan hendak memindahkan dua kardus minuman kemasan gelas isi 48 itu ke ruang dapur. Pikirku, itu cukup berat dan bisa memicu sakit punggung bagi ibu-ibu kisaran 50-an untuk urusan angkat-angkat itu.
"Aduh Bu" kataku dalam hati sambil tepuk jidat. Tanpa banyak pikir, seketika itu pula saya angkat karton itu alih-alih membantah secara langsung apa yang dipahami ibuku waktu itu.
Tidak lama setelah itu, Ibuku hendak pesan ke warung sebelah produk minuman kemasan lain Club sebagai gantinya untuk suguhan tamu. Maklum, beberapa tamu pastinya akan ada yang menolak suguhan minuman, termasuk yang masuk daftar tadi. Ini benar-benar terjadi, karena setelah itu saya mendengar sendiri apa yang dilakukan tamu dengan menyebutkan preferensi meminum produk selain yang disebut di awal tadi.
Setelah tamu pergi dan saya berniat mengajak ibu ngobrol sembari mencoba membicarakan soal boikot dan apa yang ada dibaliknya. Tentunya sebelum itu, saya browsing berbagai macam informasi dan juga argumentasi tokoh publik favoritku - mulai dari yang agak kanan, tengah maupun kiri - yang mungkin dapat membantu meredakan sikap reaksionis itu.
Seketika itu pula, tugas kuliah daring saya tinggal sebentar demi quality time sama ibuku. Ini yang aku suka dari ibuku, meski mungkin beda dalam pendapat, tapi masih bisa diajak dialog. Waktu duduk disamping ibuku di teras rumah, tanpa basa-basi, Ia memulai pembicaraan. "Ibu-ibu dasa wisma ini lagi ramai bahas boikot-memboikot nih dek, kebanyakan sedang ngeshare berita soal menolak produk yang berbau Perancis. Jadi, biar aman, sementara karton minuman tadi jangan ditaruh di ruang tamu dulu ya." Ucap ibukku.
Saya menanggapi dengan positif sikap ibuku yang mengikuti perkembangan berita walaupun melalui pesan berantai dari grup wa dan juga memuji reaksi dan pengambilan sikapnya itu seraya menyebut "boikot itu pilihan kok bu, gak papa, asal rasional dan tidak emosi. Ini masih mending kok, ada yang lebih parah dan gak masuk akal reaksinya, Bu" ucapku.
"Lho, emangnya ada?" sambut Ibuku.
Seketika itu pula, kukeluarkan gadget lusuhku sembari mengelap layarnya pakai tisu basah.
"Ini bu, di Jakarta, ada geng anak muda yang masuk mini market, lalu beli beberapa produk yang dianggap berbau Prancis, trus dibakar. Ada yang demo di tempat kursus Bahasa Perancis, bukan di Perwakilan Pemerintahan seperti Kedutaan atau Konsulat Jenderal terkait. Ada juga yang beli berkardus-kardus Aqua, trus dibuang di tempat sampah, kayak gak tau mubadzir aja bu" tanggapku.