Mohon tunggu...
Ahmad Ainun Naim
Ahmad Ainun Naim Mohon Tunggu... -

Pencari kutub-kutub, alumni Alternative University of MPO-Jogja Barat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perbincangan Imajiner dengan Imam Uzbek

14 Januari 2012   04:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:55 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Uang di ATM tinggal seratusan ribu –bukan angka baik. Di genggamanku cuma ada 20ribuan. Hari ini, tak apalah kalau aku tak menoleh sedikitpun ke abang ojek. Setelah menempuh perjalanan kaki dari Stasiun kereta api menuju kos, aku sedikit sempoyongan. Dan, kasur yang tak lagi empuk pun menjadi sasaran badanku.

Aku: “Lama tak ketemu, kau makin kurus saja, Mam?”

Imam: “Ah, biasa..”

Aku: “Biasa apanya? Tampaknya, kau ada beban pikiran, ya?”

Imam: “Kurus berarti banyak hal, tidak hanya menandakan seseorang punya beban pikiran, to?

Aku: “Oh, begitu ya?”

Imam: “Kau juga mestinya kenal Gandhi, ‘kan?”

Aku: “Gandhi siapa? Mahatma Gandhi yang dari India itu?”

Imam: “Ya, siapa lagi? Dia juga kurus, mewakili kebanyakan kaum papa, dan tetap keren sebagai manusia yang merdeka, bukan dianggap sebagai gelandangan..”

Aku: “Lhoh, memangnya Imam kenal?

Imam: “Bukan kenal lagi..kita justru sering ngopi bareng di Kemang..”

Aku: “Kemang? Kafe?”

Imam: “Yah, selain jarang ngojek, rupanya kau juga tak gaul?”

Aku: “Memangnya, Imam sering ngojek?”

Imam: “bukan sering lagi, selalu!! Kan, si Habib Syech Gendut yang ngojek..”

Aku: “Habib Syech Gendut? Kau jangan bikin fitnah, Mam? Bisa-bisa, kau kena pasal pelecehan.. ”

Imam: “Fitnah bagaimana? Orang dia yang malah ngajak, kok. Sekalian buat diet, katanya. Kalau ngonthel sehari dapat 50 km, ‘kan lumayan, tuh?”

Aku: “Yah, Imam. Jadi, ngojeknya ojek sepeda onthel? Gratisan pula? Aih, mana kerennya?”

Imam: “Ane mau bayar, tapi dia yang maksa. Buat peruntungan, katanya. Kalau ane makai jasa dia, ‘kan Nabi-Nabi mungkin juga mau ngojek sama dia.”

Aku: “Nabi-Nabi? Emangnya, yang sering ngopi di Kemang siapa saja, Mam?”

Imam: “Kagak, sih? Kalau si Khidr paling cuma mampir bentar..Kagak mau ditraktir dia, mah...dan gak pernah mau duduk. Kalau Nabi Isa a.s., pernah sekali, tapi udah lama banget. Nabi Isa tuh nggak doyan kopi dan paling nggak sreg sama pakaian ane. Terlalu wah, katanya. Busyet, dah!! Orang ane cuma pakepakaian butut dari Tenabang. Apalagi si Gandhi? Cuma pake dhoti atau longi, eh, masih dibilang gaya?”

Aku: “Dhoti itu yang kaya ihrom, pakaian haji itu ya?”

Imam: “Ho’o, mungkin karena Haji sekarang cuma buat gaya-gayaan doang kali ya?”

Aku: “Tau dah, Mam. Saya pergi pagi pulang malam. Nyampe di kos langsung teler. Tetangga yang saya kenal pada bokek semua. Mau baca koran, duitnya udah dikasih buat pengemis. Mau beli TV, nunggu THR dari si bos. Kagak ngerti saya. Dan syukur, saya tak pernah su’u dz-dzon sama yang pergi Haji.”

Imam: “Kok, jadi ane yang kena sindir, sih?”

Aku: “Oh, ma’af deh. Yaudah, siapa lagi yang sering ngopi di Kemang? Jangan-jangan cuma berdua sama si Gandhi nih?!”

Imam: “Ah, males ah ngomong itu. Udah, ya, ane mau balik dulu.”

Aku: “Balik? Emang, rumahnya di mana?”

Imam: “masih di Samarkand, Bukhoro..”

Aku: (mengernyitkan dahi..)

Imam: “Yah, ....udah gak pernah ngojek, gak gaul juga..ckckckck...Uzbekistan, coy!”

Aku: (masih mengernyitkan dahi)

Imam: “Ah, sudahlah..”

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun