Menjadi dokter seringkali jadi muhasabah untuk saya. Memahami arti bersyukur. Bahwa Allah masih sangat bermurah dan menyayangi saya dengan segala nikmat yang saya miliki saat ini.
Suatu pagi saya mendapat seorang pasien, anak-anak usia 2 tahun lebih. Anak yang tampan, putih, bersih diantar kedua orang tuanya.
I (ibu) : "Tolong, dokter. Anak saya sesek, nggrok-nggrok batuknya."
D (Dina): "Sebentar ya, Bu. Saya periksa dulu."
Saya memeriksa anak itu. Ortunya nggak bilang apa-apa, selain cuma bilang sebelumnya batuk pilek, trus kok nggak sembuh-sembuh batukya malah jadi sesek. Saya inspeksi ada retraksi dinding dada, pertanda otot-otot dada sangat berusaha keras untuk sekedar menarik nafas. Hasil auskultasi memang ada ronchi basah halus. Kedua hal itu sangat khas ditemukan pada penyakit pneumonia.
D: "Dari hasil pemeriksaan saya curiga ada radang paru-paru, bahasa medisnya pneumonia. Jadi saya sarankan dirawat inap, tapi harus ruang sendiri karena sangat menular. Penularan lewat udara jadi kalau bareng-bareng pasien lain takut nulari."
Singkat cerita ayah pasien setuju untuk rawat inap. Beliau cari kamar ke pendaftaran. Saya merasa ada yang aneh dengan wajah anak itu. Dan gerakan tangan kakinya yang agak aneh. Saya pegang kakinya, saya tekuk-tekuk. Lemas, tonus ototnya lemah sekali. Begitu juga tangannya, lemas. Saya lihat bentuk senyum dan matanya juga aneh. Spontan saya tanya
D: "Sudah bisa jalan anaknya?"
I : "Belum, dok. Ini sudah dua tahun lebih, duduk aja belum bisa, tengkurep sendiri masih susah, belum bisa ngomong."
D: "Sudah diperiksakan ke mana, Bu? Dokternya biasanya siapa?" (Aku mbatin kyke ini anak semacam cerebral palsy ato down syndrome, entahlah pokoke ada kelainan)
I : "kami dari Maluku, Bu. Di sana diperiksakan dokter spesialis anak. Katanya CP."
Saya sudah diam akhirnya. Karena bertanya lebih lanjut takut akan melukai hati ibu itu. Lha aku kan cuma bisa tanya-tanya. Nggak bisa bantu terapi atau nyelesaiin masalah kesehatan anak itu. Apa yang bisa diharapkan dari daerah Maluku sana, ada spesialis anak saja alhamdulillah. Anak Cerebral Palsy itu butuh terapi seumur hidupnya. Juga alat-alat bantu lain, dan kemungkinan untuk hidup mandiri mengurus keperluan sehari-harinya saja sangat sulit.
Soal vaksin apa saja yang diperoleh anak itu, saya juga tidak bertanya lanjut. Faktanya vaksin program pemerintah tidak mencakup vaksin Pneumonia (Pneumococcus vaccine), sementara harga vaksin itu bisa jadi agak mahal untuk kantong masyarakat menengah ke bawah. Dan karena bukan program pemerintah, ya kalau dokter spesialis anaknya tidak mengedukasi ya masyarakat awam mayoritas tidak tahu. Lagipula dalam kasus ini bisa jadi pneumonia nya karena komplikasi CP nya. Otot-otot silia di saluran nafasnya terlalu lemah, tidak adekuat untuk menghalau kuman yang masuk. Jadi infeksi sesederhana selesma (pilek) bisa berbuah petaka jadi pneumonia.
Doa saya sebagai sesama muslim, semoga kedua orangtuanya tabah. Mengasuh anak berkebutuhan khusus itu ladang pahala. Saya bersyukur Allah tidak menguji saya dengan kondisi seperti itu. Sangat bersyukur Allah berkenan menitipkan anak-anak yang sehat, tanpa kurang suatu apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H