Mohon tunggu...
Shoofi Arini
Shoofi Arini Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memunirkan Kembali Makna Kebenaran Universal

19 April 2017   05:43 Diperbarui: 19 April 2017   05:55 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah manusia memiliki kEbebasan dalam mewujudkan keinginan dan perbuatannya atau tidak ??, merupakan persoalan yang sampai saat ini masih kontroversial. Jika kita mengingat dalam sejarah perkembangan ilmu kalam, perdebatan ini begitu getol atau begitu kuat pertentangannya antara aliran jabariah dan qodariah, yang pada masa-masa sesudahnya semakin mengkristal dan menjadi isu perdebatan bagi kaum mu’tazilah dan asy’ariyah.

Bagi mu’tazilah, manusia memiliki kebebasan untuk mewujudkan keinginan dan perbuatannya (free willdan  free act). Dengan konsekuensinya, manusia harus bertanggung jawab atas apa yang dia perbuat. Jika ia berbuat baik, maka Allah “berkewajiban” untuk memasukkannya kedalam surga, dan sebaliknya jika manusia melakukan keburukan, kezaliman, kejahatan maka Allah “berkewajiban” memasukkannya kedalam neraka. Inilah yang mereka sebut doktrin Keadilan Tuhan (al-‘adl al-Ilahi). Tuhan harus berbuat adil dengan memasukkan orang yang berbuat baik kedalam surga dan memasukkan orang yang ingkar kedalam neraka.

Sedangkan bagi Asy’ariyah, pada hakikatnya manusia tidak memiliki kebebasan dalam bertindak dan mewujudkan keinginannya (predestination). Manusia hanya berusaha untuk menjadi baik (al-kasb).Kemampuan manusia untuk bertindak dan mewujudkan keinginannya merupakan dari Allah yang dipinjamkan kepada manusia untuk mengaktualkan perbuatannya. 

Namun hasil dari al-kasbitu baik atau buruk bukan atas dasar manusia itu sendiri, melainkan atas kekuasaan Allah SWT. Sebagai contoh, jika seseorang dimasukkan kedalam surga, maka itu bukan karena amal salehnya, melainkan atas rahman dan rahim Allah. Dan sebaliknya, jika manusia dimasukkan kedalam neraka, maka itu bukan berdasarkan kemaksiatan dan pelanggaran yang dibuatnya, melainkan atas dasar kekuasaan Allah. Sehingga Asy’ariyah mengatakan segala perbuatan manusia itu hasilnya sangat tergantung pada kehendak Allah karena yang berkuasa itu Allah SWT bukan manusia.

Jika kita mencoba untuk menelisik kembali makna Takdir, maka kata takdir (taqdir) terambil dari kata qaddara berasal dari akar kata qadara yang berati mengukur, memberi, kadar atau ukuran. Akmal Tarigan dalam bukunya Islam Madzhab HMI juga mengatakan bahwa Takdir juga dapat diartikan sebagai Hukum ketetapan Tuhan untuk alam raya atau singkatnya yang biasa kita pahami sebagai “Hukum Alam”, maka tak ada satupun fenomena atau gejala alam yang terlepas dari-Nya. Sesuai dengan firman Allah yang artinya : dan dia ciptakan segala sesuatu, maka dibuat hukum kepastiannya sepasti-pastinya. (Qs.Al-Furqon/ 25:2).

Takdir ilahi yang berlaku pada alam bersifat pasti, tetap dan bersifat pemaksaan, sedangkan pada manusia tidak demikian. Misalnya, matahari beredar pada porosnya, ini adalah ukuran atau kadar yang sudah di tetapkan pada matahari sehingga ia tidak dapat keluar dari ukuran tersebut. Api telah di tentukan ukurannya untuk membakar benda-benda yang kering, dan air telah ditetapkan kadar atau ukurannya untuk mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah dan tidak bisa sebaliknya. Inilah yang dimaksud ukuran dan batasan yang berlaku pada alam.

Menurut Djohan Efendi,, takdir bukanlah belenggu wajib, bukan ketetapan yang menentukan untung atau malangnya seseorang. Atau yang menentukan baik dan jahat seseorang, sebagai contoh, tidak ada manusia yang sejak lahir sudah ditetapkan Tuhan menjadi orang baik atau jahat, sehingga ia hanya menjalaninya saja tak ubahnya seperti robot atau wayang yang digerakkan oleh dalangnya.

Sampai Disini, Djohan Efendi menyimpulkan bahwa takdir pada manusia bermakna kebebasan Moral, suatau kualitas atau pribadi yang tak bergantung pada sesuatu diluar dirinya. Sehingga jelas bahwa takdir pada manusia bermakna hukum-hukum Tuhan yang universal.

Yang paling penting adalah bahwa takdir atau keharusan universal tersebut bukanlah sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Allah di alam azali sana dan yang berlaku secara individualistik. Tetapi Takdir adalah hukum universal yang ditetapkan Tuhan di alam ini. Siapa saja yang mengikuti hukum-hukum universal tersebut, maka ia akan menerima akibatnya, baik itu positif maupun negatif. 

Disinilah peran Ikhtiar (usaha) kebebasan manusia untuk memilhnya. Contohnya, apakah ia miskin atau kaya bukanlah sebuah ketetapan yang telah ditetapkan Allah yang pasti sejak dari ia lahir, melainkan keputusan manusia itu sendiri. Siapa saja yang bersungguh-sungguh menuntut ilmu, memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, bekerja keras dan jujur, maka ia akan memperoleh kesuksesan hidup dimuka bumu ini. Karirnya akan meningkat dan secara material ia akan kaya, begitu pula sebaliknya.

Dengan demikian, penulis hanya ingin menjelaskan bahwa segala sesuatu yang menimpa manusia baik atau buruk tetap memiliki rasionalitasnya sendiri dan tidak bisa dilepaskan dari kehendak dan keputusan manusia itu sendiri.  Namun sayangnya mayoritas paham dalam masyaraka indonesia meyakini dan mengartikan takdir sebagai ketentuan Tuhan yang taken for grantedtidak bisa diubah dan manusia hanya menjalaninya saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun