Baper merupakan bahasa gaul, bahkan didalam KBBI pun tidak ditemukan arti yang jelas tentang baper. Kata baper adalah istilah yang merupakan gabungan dua kata, yakni "bawa" dan "perasaan". Artinya adalah suatu sikap orang yang terlalu membawa perasaan dalam menanggapi suatu hal. Kata ini sering sekali dijumpai dalam bahasa sehari-hari anak muda.
Sedang jatuh cinta, baper. Dicuekin, baper. Diputusin, baper. Lihat drama Korea, baper. Begitulah sedikit analogi baper dalam keseharian remaja. Apakah baper ini kuga berlaku untuk orang dewasa? Apakah hanya remaja yang bisa merasa baper?
Ternyata baper tidak hanya untuk golongan muda. Baper bisa masuk dalam segala umur, semua golongan bahkan pejabat juga bisa baper. Lho kok bisa? Bisa saja to, kita lihat saja banyak sekali pejabat negara ataupun mantan pejabat yang kerjanya sedikit-sedikit curhat di media sosial, alias curcol (curhat colongan) di media massa.
Foto-foto dijadikan meme dipolisikan. Kerja sedikit banyak nge-twitnya, giliran dikritisi eh diblok akun kritikusnya. Ada yang menganggap sarkasme, sindiran sebagai bentuk penghinanaan akhirnya main lapor-laporan. Ujung-ujungnya penuh penjara.
Seberapa penting peran media sosial dan media massa baik online maupun cetak dalam melihat kinerja seorang pejabat? Penulis melihat peran masyarakat melalui media sosial baik itu twitter, facebook dan lain-lain atau sebut saja netizen sangat positif di era perkembangan teknologi informasi ini. Netizen dengan mudah melihat hasil kerja sebuah lembaga melalui akun resmi lembaga tersebut.
Sejauh mana pembangunan daerah timur dapat terlihat dengan video atau gambar-gambar, juga pembangunan infrastruktur samapai dengan kasus gizi buruk pun bisa terekspos dimedia.
Masyarakat atau netizen yang semakin cerdas bisa melihat langsung arah bangsa ini. Tentunya setiap kebijakan akan melahirkan pro dan kontra. Wajar saja, masyarakat Indonesia terdiri dari ratusan juta jiwa, setiap kepala mempunyai pemikiran yang berbeda, keinginan berbeda dan pendapat berbeda sehingga wajar ada yang suka dan ada yang tidak suka.
Menjadi pejabat, aparatur negara di lembaga apapun di era digital ini akan semakin sulit karena setiap gerak geriknya, pernyataannya begitu cepat menyebar baik melalui media online maupun media sosial. Netizen yang semakin kritis tidak akan segan-segan mengkritisi langsung tentang sebuah kebijakan terlepas apakah kritikan itu benar atau salah. Sedikit saja pejabat atau aparatur negara salah memberi pernyataan bisa dihakimi di media sosial.
Maka dari itu menjadi pejabat zaman now harus punya hati seluas samudera, kesabaran yang tiada batas karena jika tidak begitu maka akan mudah terpancing emosi.
Media online bukan tempat berdebat yang baik, alangkah baiknya setiap kritik tersebut diterima dan dipelajari sebagai bahan masukan dan introspeksi diri. Bukankan pejabat juga manusia biasa, apabila memang melakukan kesalahan silahkan berkata apa adanya, hal itu lebih terhormat dan elegan dari pada curhat di media massa. Masyarakat sudah semakin melek politik, masyarakat sudak kenyang janji-janji manis tanpa realisasi.
Sering kali wakil rakyat yang terhormat jarang mendengarkan keluhan rakyatnya, jika para wakil rakyat terus mengeluh di sosmed, kami rakyat mau curhat sama siapa? Jadi, Bapak-bapak yang terhormat yang menjalankan amanat rakyat, baik itu legislaitif, eksekutif, dan yufikatif, jangan abaikan suara-suara dari bawah, dengarkan curahan hati kami bukan kami yang harus mendengarkan curahat hati bapak-bapak semua di medsos.