Mohon tunggu...
Agus Sastranegara
Agus Sastranegara Mohon Tunggu... Administrasi - bukan pujangga, hanya pemuja kata

Bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Obsesi Orangtua dan Perkembangan Peserta Didik

8 Februari 2018   07:00 Diperbarui: 8 Februari 2018   11:36 1358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang tua pasti akan mengharapkan anaknya pintar, selalu juara satu dikelas, baik, berjiwa sosial yang tinggi dan sempurna. Wahai para orang tua marilah kita sedikit berfikir apakah ada anak yang seperti itu?. Siapa sih yang tidak bangga jika anaknya juara umum, disanjung, dielukan dan bisa dibanggakan saat mak-maknya arisan bulanan. Terkadang untuk keegoisan orang tua tersebut, tidak jarang anak menjadi korban obsesi. Bagaimana tidak, anak-anak mempunyai masa perkembangan yang berbeda-beda. 

Sebagai contoh, anak diusia Sekolah Dasar (SD) kelas 1 sudah diles privat kan dengan tujuan agar cepat pandai. Bagaimana  ibu-ibu jaman sekarang memforsir pikiran anak-anak dengan beban yang begitu berat. Bayangkan, pagi bangun pagi kesekolah sampai jam sebelas siang, pulang sebentar istirahat makan dan sudah diantarkan lagi ke tempat kursus. Pada umumnya sampai 2 jam lebih, dimulai dari les Matematika yang dianggap sebagai momok menakutkan bagi siswa siswi. Kemudian, pelajaran lain-lain yang diajarkan disekolah. 

Harapannya adalah agar anak terpacu otaknya dibidang pelajaran. Anak sekecil itu dituntut berprestasi disegala bidang pelajaran sehingga mengorbankan waktu untuk istirahat dan waktu untuk bersosialisasi dengan teman sebaya diluar sekolah. Berbagai obsesi dan rencana dipersiapkan oleh orang tua milenial dengan dalih demi masa depan anaknya dikehidupan mendatang. Secara logika, selain belajar, anak usia SD masih butuh untuk bermain dilingkungan rumahnya, mengenal disekitar tempat tinggalnya 

Tidak jarang disaat penerimaan hasil belajar disetiap semester yang anaknya mendapat peringkat tertinggi akan dengan bangga mengupload di media sosial menceritakan bagaimana jenius anaknya disekolah tanpa memikirkan perasaan orang tua yang anaknya kurang baik hasilnya dibidang kognitifnya. Bahkan karena obsesinya berhasil, si Ibu atau bapaknya ini memberikan hadiah karena anakknya mendapat juara. 

Jika hadiah trsebut berupa alat-alat pendidikan sperti buku, pena, dan lai  sebagainya itu tidak menjadi masalah. Akan tetapi berbeda apabila hadiahnya beruoa gadget, game, komouter game dan lain-lain. Selainberdampak kurang baik maka naka akan terobsesi mendapatkan nilai karena tergiur oleh hadiahnya bukan kesadaran sendiri.

Tidak jarang seorang guru juga kurang peka terhadap aspek penilaian kepada peserta didiknya. Tidak bisa dipungkiri bahwa anak yang selalu benar menjawab soal, aktif akan mendapat nilai yang baik selalu menjadi prioritas, sedangkan anak yang pendiam, kurang mampu dalam hal akademis kurang diperhatikan. 

Akibatnya sistem komoetisi didalam kelas akan mengerucut kepada anak yabg ber IQ tinggi sedangkan anak yang mempunyai daya tangkap berbeda akan stagnan. Harusnya seorang guru yang baik harus paham bahwa daya tangkap masing-masing siswa akan berbeda. Ada yang cepat, sedang dan lambat, nah bagi peserta didik yang lambat harusnya mendapat perhatian lebih dalam hal perhatian. Kenapa? Karena merwka butuh motivasi agar tidak merasa down jika dibandingkan teman yang lebih pintar.

Jika anak yang daya tangkapnya kurang tersebut memang mengalami masalah hendaknya guru harus melihat sisi keunggulan yang lain dari si anak. Mungkin nilai akademiknya kurang baik tapi disisi kehidupan sosialnya atau keunggulan lainnya seperti dibidang kesenian ataupun olahraga  bisa saja siswa tersebut lebih menonjol bakat lainnya. 

Hal tersebutlah yang harus dinunculkan dan disadari oleh orang tua dan gurunya. Ingat, keunggulan kognitif saja tidak menjamin kesuksesan seseorang. Dampak lebih parahnya adalah anak yang tidak diimbangi oleh aspek afektif akan kurang oandai berbaur didalam ansyarakat, individualistis dan kurangnya emapti dengan lingkungan sekitarnya. Ingatlah setiap manusia mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun