Panjat Pinang memperlihatkan sikap bahu membahu untuk bisa sampai ke puncak tertinggi dan mendapatkan hadiah yang banyak. Saat sudah berada di puncak, ia memetik hasilnya lalu menjatuhkan semua hasilnya kepada orang yang berada di bawah yang telah mati-matian (ihklas) membantunya, karena ia tahu, ia tak akan sanggup sampai puncak tanpa bantuan orang lain, dan tidak sanggup membawa semua hadiahnya turun ke bawah. Setelah semua berada di bawah barulah mereka berbagi hasil sesuai kebutuhannya.
Sedari dulu hingga sekarang kita sudah merasakan/mengalami bagaimana rasa berharap-harap. Berharap kepada manusia lain agar dapat membantu/meringankan kesulitan kita. Padahal kita tahu saat berharap kita harus siap menghadapi persyaratannya; sabar, menunggu, bahkan ada yang memperlihatkan wajah memelas.
Sebetulnya kita sadar, tidak baik terlalu menginginkan apa yang kita harapkan. Apalagi bentuknya berupa hutang piutang, karena saat kita berhutang, kewajiban kita membayar berdasarkan batas waktu perjanjian. Saat kita sudah menerima atau menyerahkan uang pinjaman berarti kita siap menerima konsekuensinya (akibat, buntut darinya) berupa berharap untuk dikembalikan.
"Berharap" terus menerus ada dalam hati kita, berharap kepada Tuhan Yang Maha Kuasa wajar adanya, dan memang harus demikian karena kita sebagai makhluk ciptaan-Nya, namun berharap kepada manusia/orang lain merupakan pembelajaran hidup bagaimana kita harus jujur, bersabar dan tepat waktu.
Kita terus berharap karena kita hidup di antara sesama masyarakat, walau berbeda suku, agama, dan beda pendapatan, berharap itu menjadi suatu kebutuhan. Sebagai manusia yang memiliki kebutuhan materi dan rohani, kita akan selalu membutuhkan orang lain. Baik itu kepentingan pribadi, keluarga, teman atau pun kepentingan kelompok, asalkan berharap untuk kepentingan kelompok itu tidak dinodai oleh kebutuhan/keinginan membesarkan nama kelompoknya, yang kemudian untuk meraup keuntungan tanpa memperdulikan masyarakat dan lingkungannya.
Walau kita berada dalam 1 kelompok yang kuat, sifat berharap telah memberitahukan pada diri kita, kalau kita bukan orang yang sempurna, yang sanggup mengatasi segala hal walau 1 kelompok berdiri di belakang kita, tidak dapat menenangkan segala permasalahan hidup kecuali berharap kepada orang lain.
Berharap, namun harapan dari berharap itu tak kunjung datang menjadi contoh kalau kita sedang menerapkan sifat, "membutuhkan orang lain". Biasanya, setelah harapan itu terpenuhi/terkabulkan maka kita akan melupakan orang itu lalu kita menginginkan/berharap sesuatu yang lain (yang lebih menguntungkan lagi).
Masalah bersandingan bahu (bantu membantu) dan solidaritas dalam kehidupan ini akan dikatakan "tidak ada" jika orang yang berharap tidak mendapat apa-apa dari apa yang diharapkannya. Ia akan kecewa, marah dan benci. Tapi jika harapannya terpenuhi maka ia akan menunjukkan penghormatannya, etika baiknya, senyum lebarnya kepada orang itu.
Ciri-ciri atau sifat-sifat orang yang selalu berharap kepada orang lain biasanya kita lihat ia menunjukkan sikap pemalasnya yang unik, sangat berbeda dengan sikap malas seperti biasanya (suka tidur, malas bergerak, dan suka duduk saja). Keunikan pemalas (dalam bekerja) orang ini malah menunjukkan semangatnya dalam menampakkan ekspresi sedih (butuh bantuan, memelas) kepada orang lain yang dianggapnya memiliki kekayaan/kekuatan. Sifat khasnya berusaha mempengaruhi orang untuk kasihan kepadanya.
Oleh karena itu, kita kadang harus keras hati, harus banyak tanya dan teguh pendirian kepada orang yang bersikeras berharap ini. Sikap banyak tanya kita butuhkan agar tidak terpengaruh olehnya. Namun harus hati-hati karena kita akan mengalami hal yang sama suatu saat nanti, begitu berharap kepada orang lain. Agar hal negatif ini tidak terjadi pada kita berbuat baiklah kepada siapa saja, namun jangan terlalu "berlebih", karena berharap kepada manusia itu berat adanya. Â Jika kita memulai berbuat baik, maka kita akan mendapati orang lain baik juga terhadap kita.
Berbuat baik dan bersikap disiplin (disiplin melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain) sangat penting untuk ditekankan pada diri kita karena jika disiplin berbuat baik ini sudah hilang maka hilang juga identitas keimanan dan agama dalam dada kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H