Nama Upacara : PERISTIWA PERANG KETUPAT
Naskah dan tujuan upacara : masyarakat kebudayaan daerah  yaitu peragaan perang ketupat dan Naber Kampung.
Waktu penyelenggaraan Bulan Rajab atau pada perayaan bulan Ruwah menjelan bulan Ramadhan
Tempat penyelenggaraan di Tempilang (Pasir Kuning)
Jalannya Upacara:
Peristiwa adat perang ketupat pertama kali muncul pada zaman penjajahan belanda. Waktu itu penduduk asli kebebasannya sangat terbatas dan selalu dihantui oleh perasaan takut dengan orang-orang asing yang menjajah pada masa itu, namun walaupun begitu rupanya masih sempat juga bagi penduduk desa untuk menghibur hati masyarakat walaupun dengan perasaan sangat tertekan.
Upacara adat ini dipelopori oleh suatu badan yang diberi nama Ketua Empat yang terdiri dari 4 (empat) orang pelopor yang bekerjasama dengan seorang Dukun.Â
Ketua 4 (empat) bersama sang dukun menyusun program kerja, kemudian diajukan rencananya itu kepada pengurus GEGADING. Bila semua orang yaitu ke 6 (enam) pemuka masyarakat telah sepakat berarti acara perang ketupat dapat dilaksanakan.
Berita gembira ini disebarluaskan kepada khalayak ramai yang sudah barang tentu disambut dengan rasa gembira oleh masyarakat. Peristiwa yang bersejarah ini selalu dirayakan pada bulan Rajab atau pada permulaan bulan Arwah menjelang bulan RAMADHAN.
Kegiatan orang kampung yang pertama adalah gotong royong membersihkan perkarangan rumah, selokan-selokan di masjid tempat mereka beribadah, dan yang sangat menarik adalah mereka bergotong royonh menghiasi balai pertemuan GEGADING.Â
Pada kiri dan kanan balai dihiasi dengan tempat-tempat duduk yang terbuat dari sejenis kayu mentangor putih dan tidak diperbolehkan dengan kayu yang lain. Tentu sangat menarik sekali kelihatannya.Â
Di depan balai didirikan tiang-tiang bendera. Bendera yang dipakai adalah kain guntung sebagai lambangnya, cukup menarik juga disaksikan, kain-kain yang berwarna warni ini berkibar-kibar di tiup angin.
Dukun cukup sibuk juga dengan pekerjaannya yaitu bersama-sama dengan orang kampung membuat tepung taber. Setelah selesai tepung itu diletakkan pada suatu tempat yang khusus. Tepung taber ini oleh dukun diperintahkan untuk diasuh seperti mengasuh bayi yang baru lahir.Â
Semalaman suntuk orang kampung bersama-sama sang dukun begadang dengan nyanyian-nyanyian yang sedang hits pada waktu itu diantaranya nyanyian timang malang, lagu jauh malam dengan tariannya bernama tari Serimbang.Â
Mereka bergembira, menari dan bernyanyi sampai pagi hari, setelah selesai tepung tersebut di simpan dengan rapi dan tidak dibenarkan untuk dipegang.
Kegiatan sang dukun yang kedua adalah dua hari sebelum acara dimulai memalang buaya pada suatu tempat yang bernama PRABU BILIK yang terletak dekat LAUT PASIR KUNING sekarang ini. Disitulah sang dukun beraksi memulai dengan materanya.
"HAI SEKALIAN BUAYA YANG DATANG DARI TEMPAT YANG JAUH DATANG KETEMPAT KAMI, MANA YANG DENGKI MAKANLAH UMPAN PALANG KAMI INI"
Bersambung ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H