Desa ujung di Pulau Bangka, hingga
jalan desa itu terhenti oleh sungai Menduk
yang tembus hingga laut.
- agus yaman
Desa ini sangat terpencil, jauh dari kebisingan kota, pembangunannya pun masih dirasakan kurang. Desa dengan masyarakat yang sangat ramah, bersahaja, bersahabat, dan selalu menawarkan makan minum bila ada tamu yang datang dari luar desa walau mereka bekerja hanya sebagai petani dan nelayan. Jiwa gotong royong mereka juga sangat tinggi, jiwa kebersamaan mereka tidak perlu diragukan lagi.Â
Desa Menduk inilah yang pertama dan satu-satunya memelihara tari tradisional Kedidi, dan dari sungai Menduk inilah terciptanya tari Kedidi, tari yang terinspirasi dari burung Kedidi yang sering nelayan jumpai di tepi rawa-rawa sungai Menduk. Menurut keterangan yang di dapat dari penari Kedidi desa Menduk yaitu bapak Juhar, tari ini diangkat dari gerakan burung Kedidi yang banyak dijumpai nelayan di rawa-rawa saat menelusuri sungai menuju laut.
Pada waktu malam hari sambil melepas lelah setelah seharian bekerja atau setelah pulang dari kebun, penduduk desa menghibur diri dengan bermain musik Dambus sambil bedincak dan menari Kedidi. Tari kedidi melambangkan gerak-gerik burung Kedidi yang konon banyak terdapat di sungai dan sepanjang pantai pulau Bangka. Burung Kedidi sejenis burung yang suka berkelompok serta mempunyai keunikan dalam pola kehidupannya, terutama saat bermain-main dengan sesama temannya, serta ulah tingkahnya ketika mereka mencari makanan di tepi sungai Menduk. Â
Penulis pernah menunggu datangnya burung Kedidi tersebut namun tidak pernah penulis lihat seperti gambaran yang diterangkan mereka, dan penulis mendapat masukan dari teman kalau burung itu bisa jadi sedang berimigrasi ke sungai Menduk pada bulan-bulan tertentu, karena gambaran burung Kedidi disungai Menduk tidak sama dengan gambaran burung Kedidi yang ada dipantai-pantai Bangka pada umumnya.Â
Burung Kedidi ini hidup di alam terbuka, tidak bisa ditangkap untuk dipelihara dan telah memberi inspirasi kepada nelayan, menghibur diri bermain menirukan gerakan burung Kedidi, kemudian mereka menyusun tariannya, dan iringan musik pada mulanya diusahakan dari bahan-bahan yang ditemukan di alam sekitar seperti; kayu-kayu, batok kelapa dan lain-lain.Â
Kemudian perkembangan inspirasi tertuju pada gerak-gerak kepiting. Apabila perahu sedang berlayar mereka memukul perahu sebagai penghias iramanya. Tarian ini kemudian berkembang menjadi hiburan muda mudi dengan sebanyak empat atau lima orang pada bulan purnama tanggal 13, 14, 15 setiap bulan.Â
Tari Kedidi pada dasarnya bersifat pelipur lara, dan mereka mendapat inspirasi dari burung Kedidi yang hidup di muara sungai dan rawa-rawa, sering ditemui nelayan disepanjang tepian sungai, dan gerakannya lucu, terutama gerakan ekornya ketika meloncat dari satu tempat ke tempat lain, dari batu ke batu atau di atas batang pelepah nipah yang mengapung di atas air.Â
Sebagai bentuk kesenian tari Kedidi ini kemudian menjadi lebih menarik ketika diiringi dengan dambus. Perkembangan variasi selanjutnya memasukkan unsur silat dan gerak pedang. Tari dan silat ini sering dipertandingkan atau dipertontonkan di desa-desa sekitar sehingga memicu improvisasi gerak dan komposisi serta kepandaian dalam mengembangkan gaya pribadi. Namun demikian dasar gerak burung Kedidi tetap dominan yang dapat memberi nuansa lincah, lembut, genit, maupun gagah dengan unsur silatnya.Â