Setelah puas merantau, beliau kembali ke tanah kelahirannya, Yogyakarta. Oleh pakdenya, yaitu Ki Hadjar Dewantara (Bapak Pendidikan), Pak Dirdjo diminta mengajar silat di lingkungan Perguruan Taman Siswa di Wirogunan. Di tengah kesibukannya mengajar silat di Taman Siswa, Pak Dirdjo mendapatkan pekerjaan sebagai magazijn meester di Pabrik Gula Kedaton Pleret.
Â
Pada tahun 1947 di Yogyakarta, Pak Dirdjo diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Seksi Pencak Silat, yang dikepalai oleh Mohamad Djoemali. Berdasarkan misi yang diembannya untuk mengembangkan pencak silat, Pak Dirdjo membuka kursus silat melalui dinas untuk umum. Beliau juga diminta untuk mengajar di Himpunan Siswa Budaya, sebuah unit kegiatan mahasiswa UGM (Universitas Gadjah Mada). Murid-muridnya adalah para mahasiswa UGM pada masa awal berdirinya kampus tersebut. Pak Dirdjo juga membuka kursus silat di kantornya. Beberapa murid Pak Dirdjo saat itu di antaranya adalah Dalmono, Soejono Hadi, dan Bambang Moediono Probokoesoemo.
Tahun 1954 Pak Dirdjo diperbantukan ke Kantor Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, Urusan Pencak Silat. Murid-murid beliau di Yogyakarta, baik yang berlatih di UGM ataupun di luar UGM, bergabung menjadi satu dalam wadah HPPSI (Himpunan Penggemar Pencak Silat Indonesia) yang diketuai oleh Dalmono.
Tahun 1955 beliau resmi pindah dinas ke Kota Surabaya. Dengan tugas yang sama, yakni mengembangkan dan menyebarluaskan pencak silat sebagai budaya bangsa Indonesia, Pak Dirdjo membuka kursus silat di Kantor Kebudayaan Provinsi Jawa Timur yang berlokasi di Jalan Taman Mayangkara, Wonokromo, Surabaya. Dengan dibantu oleh Imam Ramelan, beliau mendirikan kursus silat Perisai Diri pada tanggal 2 Juli 1955.
Para muridnya di Yogyakarta pun kemudian menyesuaikan diri menamakan himpunan mereka sebagai silat Perisai Diri. Di sisi lain, murid-murid perguruan silat Eka Kalbu yang pernah didirikan oleh Pak Dirdjo masih berhubungan dengan beliau. Mereka tersebar di kawasan Banyumas, Purworejo, dan Yogyakarta. Hanya saja perguruan ini kemudian memang tidak berkembang, tetapi melebur dengan sendirinya ke silat Perisai Diri, sama seperti HPPSI di Yogyakarta. Satu guru menjadikan peleburan perguruan ini menjadi mudah.
Pengalaman yang diperoleh selama merantau dan ilmu beladiri Siauw Liem Sie yang dikuasainya kemudian dicurahkannya ke dalam bentuk teknik yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anatomi tubuh manusia, tanpa ada unsur memperkosa gerak. Semuanya berjalan secara alami dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Dengan motto "Pandai Silat Tanpa Cedera", silat Perisai Diri diterima oleh berbagai lapisan masyarakat untuk dipelajari sebagai ilmu beladiri.
Â
Pada tahun 1969, salah satu murid Pak Dirdjo yaitu Suparjono, menjadi staf Bidang Musyawarah PB PON VII di Surabaya. Dengan inspirasi dari AD/ART organisasi-organisasi di KONI Pusat yang sudah ada, Suparjono bersama Bambang Moediono Probokoesoemo, Totok Soemantoro, Mondo Satrijo Hadi Prakoso, dan murid-murid lainnya pada tahun 1970 menyusun AD/ART Perisai Diri dan nama lengkap organisasi silat Perisai Diri disetujui menjadi Keluarga Silat Nasional Indonesia Perisai Diri yang disingkat Kelatnas Indonesia Perisai Diri.