Sunan Kalijaga adalah seorang Wali tanah Jawa yang diperkirakan hidup pada tahun 1450 - 1560. Beliau merupakan putra Tumenggung Wilatikta Adipati Tuban yang ketika masih muda bernama Raden Mas Syahid.
Sebelum Sunan Kalijaga berguru kepada Sunan Bonang, beliau dikenal sebagai Brandal Lokajaya seorang begal yang sangat ditakuti oleh para bangsawan dan orang-orang kaya pada masa itu.
Tapi meskipun menjadi musuh para bangsawan dan orang-orang kaya, Raden Mas Syahid merupakan pahlawan bagi rakyat jelata karena semua hasil rampokannya dibagikan kepada orang-orang yang tidak mampu.
Setelah di angkat menjadi salah satu anggota dari Walisongo, Sunan Kalijaga kemudian berjuang untuk mensyiarkan ajaran agama Islam melalui pendekatan tradisi dan budaya, salah satunya melalui pertunjukan Wayang kulit.
Wayang dijadikan sebagai salah satu media untuk penyebaran agama Islam oleh Sunan Kalijaga dengan memasukkan unsur-unsur Islam didalam kandungan ceritanya, contohnya: Puntadewa atau Yudistira sebagai Raja di Kerajaan Amartapura memiliki jimat yang bernama "Jamus Kalimasada" yang merupakan pegangan atau lambang keunggulan sebagai seorang Raja dan merupakan pusaka yang paling sakti di antara pusaka-pusaka lainnya.
Kalimasada adalah kependekan dari "Kalimat Syahadat" yang merupakan rukun Islam pertama sebagai pengakuan seorang muslim bahwa "Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah".
Sunan Kalijaga memang memiliki kecerdasan luar bisa sehingga mampu memasukkan nilai-nilai ajaran agama Islam kedalam tradisi dan kebudayaan yang sudah melekat dalam masyarakat Jawa, termasuk ke dalam cerita pewayangan yang sebetulnya merupakan produk dari budaya Hindu.
Beliau berpendapat bahwa orang Jawa yang memeluk agama Islam tidak perlu menjadi seperti orang Arab. Wong Jowo Islam (Orang Islam Jawa) tidak perlu mengganti baju sorjan dan udengnya dengan jubah dan sorban Arab.
Selain berdakwah menggunakan Wayang kulit, Sunan Kalijaga juga menggunakan Keris dan Perkutut sebagai bagian dari strategi dakwahnya di tanah Jawa dengan memasukkan ajaran-ajaran spiritual didalamnya.
Bersama Empu Supo Mandrangi dan Empu Supo Enom, beliau menciptakan Keris Sengkelat, Keris Carubuk dan Keris-Keris lainnya yang semuanya memiliki muatan politik dan spiritual sebagai sarana dakwah.
Selain berfungsi sebagai senjata untuk melindungi diri, Keris juga memiliki nilai falsafah yang tinggi karena didalamnya terselip simbol-simbol yang sarat makna.
Keris memiliki makna Sinengker Karana Aris yang merupakan pengingat untuk mengendalikan hawa nafsu agar Manusia selalu berdzikir mengingat Tuhan.
Seseorang yang memiliki Keris harus memegang dan mengendalikan Kerisnya dengan benar agar tidak berbalik membahayakan dirinya sendiri dan orang lain.
Keris juga identik dengan hal-hal berbau klenik dan bisa menjerumuskan dalam kesyirikan jika tidak memahami makna filosofinya. Batas antara Keris dan Syirik memang sangat tipis karena jika kata "Keris" dibalik maka akan menjadi "Sirek" atau "Syirik".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H