Mohon tunggu...
Agus Wididi
Agus Wididi Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Kompasianer Brebes "Dengan menulis ilmu akan tetap digenggam dalam genggaman yang erat"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tingkat Partisipatif Golongan Putih (Golput) dan Fakta-Faktanya

14 Maret 2019   02:22 Diperbarui: 14 Maret 2019   02:34 1423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Golongan Putih atau yang disingkat Golput adalah istilah politik yang saat ini menjadi banyak perbincangan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Pasalnya, angka Golput di Indonesia saat ini tergolong tinggi. Namun, tahukah anda bahwa Golput pada mulanya merupakan gerakan protes yang dilakukan oleh mahasiswa pada era orde baru?

Istilah Golput dicetuskan pertama kali oleh Imam Waluyo pada 3 Juni 1971 di Jakarta. Saat itu, bertepatan dengan satu bulan sebelum dilaksanakannya Pemilu pertama di era orde baru yang diikuti oleh 10 partai politik. Tokoh yang terkenal memimpin gerakan tersebut yaitu Arief Budiman.

Kata "putih" pada Golput diambil karena gerakan tersebut menganjurkan bagi pemilih yang datang ke bilik suara untuk mencoblos bagian kertas berwarna putih atau surat suara di luar gambar partai politik peserta Pemilu. Golput juga digunakan sebagai istilah lawan dari Golongan Karya (Golkar). Pasalnya pada era orde baru, Golkar merupakan partai politik dominan.

Golput pada Pemilu 1955 sudah ada, yaitu disebut sebagai suara tidak sah dan pemilih yang tidak hadir ke TPS. Angka Golput pada Pemilu 1955 sebesar 8,6%. Namun, ketika istilah Golput dicetuskan pada Pemilu 1971, angka Golput justru menurun, yaitu sebesar 3,4%. Akan tetapi, pada Pemilu pasca reformasi, angka Golput justru semakin meningkat.

Berdasarkan data KPU RI, dari 7,3% angka Golput pada Pemilu 1999, masyarakat yang memutuskan untuk Golput pada Pemilu Legislatif 2004 meningkat sebesar 15,9%. Bahkan pada Pemilu Presiden tahap I dan tahap II di tahun tersebut, angka Golput sebesar 21,18% dan 23,4%.

Angka Golput pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden ditahun 2009 juga terus meningkat, yaitu sebesar 29,3% dan 28,3%. Namun, pada Pemilu Legislatif 2014, angka Golput menurun jadi 24,8%. Akan tetapi, pada Pemilu Presiden angka Golput justru meningkat, yaitu sebesar 29,1%.

Tingginya angka Golput disebabkan karena beberapa faktor, baik itu faktor dari dalam diri si pemilih maupun penyebab lain yang dapat mempengaruhi agar pemilih menjadi Golput. Menurut Karno Wibowo, pengamat politik dari Indonesia Public Institute (IPI), ada empat faktor yang menyebabkan pemilih tidak memilih ketika Pemilu.

Pertama, karena pemilih tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap, sehingga pemilih tidak mendapatkan kartu memilih atau undangan. Kedua, pemilih yang terdaftar dan mendapatkan undangan, akan tetapi berhalangan atau ada urusan mendesak pada saat Pemilu berlangsung.

Ketiga, pemilih yang dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya. Hal tersebut, karena mereka menilai bahwa partai peserta Pemilu, calon legislatif dan pasangan calon presiden tidak ada yang sesuai dengan pilihan mereka.

Faktor keempat, pemilih yang dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya karena menilai bahwa Pemilu tidak ada gunanya. Mereka menganggap bahwa hasil dari Pemilu, tidak linear dengan kesejahteraan yang mereka inginkan.

Dari empat faktor tersebut, masing-masing memiliki tingkat keriskanan tersendiri. Pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya karena empat faktor tersebut, lebih banyak disebabkan karena rasa kecewa.

Mereka beranggapan bahwa tidak ada partai ataupun tokoh yang pantas atau mampu memimpin mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan hingga Pemilu selesai dilaksanakan. Kekecewaan tersebut kemudian menggiring masyarakat untuk bersifat apatis terhadap Pemilu.

Menurut Mahfud MD dalam wawancaranya di tempo.co, Golput sebagai ekspresi dan sikap personal diperbolehkan. Golput secara hukum juga dianggap sah. Hal tersebut sudah dijamin dalam Pasal 28 UUD '45 serta Pasal 23 UU tentang HAM.

Kedua pasal tersebut membebaskan seseorang untuk mempunyai haknya masing-masing. Baik itu mengenai hak berpolitik maupun hak untuk menentukan pilihan dalam politiknya. Termasuk mengenai hak untuk tidak memilih siapapun dalam Pemilu alias Golput.

Namun, jika ada seseorang yang membujuk, mengajak atau mempengaruhi orang lain untuk Golput, ini dikatakan tindakan jahat. Sesuai dengan Pasal 515 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, hukuman bagi seseorang yang melakukan tindakan tersebut dapat di pidana penjara paling lama 3 tahun dengan denda paling besar 36 juta rupiah.

Mendekati Pemilu 2019, banyak warga Indonesia yang secara terbuka menyatakan untuk Golput. Sebagai misal, baru-baru ini ada gerakan Golput yang di lakukan oleh 3.000 warga korban gusuran di Cikuasa Pantai dan Kramat Raya, Kota Cilegon. Itu disebabkan karena tidak ada kejelasan mengenai ganti rugi tanah mereka yang telah di gusur oleh Pemerintah Kota Cilegon sejak 2016 lalu.

Gerakan tersebut, merupakan gerakan kekecewaan warga terhadap Pemkot Cilegon yang hingga sekarang belum juga mengganti tanahnya yang telah di gusur. Hal itulah yang mengakibatkan warga menyatakan Golput di Pemilu 2019.

Munculnya aktor pasangan calon presiden virtual, Nurhadi -- Aldo juga dinilai telah mempengaruhi pemilih untuk bersifat apatis terhadap Pemilu. Vigur tersebut muncul ditengah masyarakat yang sedang jenuh terhadap Pemilu seperti saat ini. Oleh karenyanya, banyak masyarakat untuk memilih Golput di Pemilu 2019.

Tak hanya itu, pelaksanaan Pemilu 2019 pada 17 April ternyata berdekatan dengan libur panjang. Dua hari setelah pelaksanaan Pemilu atau pada tanggal 19 April merupakan hari Wafatnya Yesus Kristus. Hal tersebut, juga dapat mengakibatkan menurunnya tingkat partisipatif pemilih pemula yang lebih memilih untuk berlibur daripada datang ke TPS untuk mencoblos.

Bahkan, ada juga masyarakat yang menyatakan Golput karena kebingungannya terhadap peserta Pemilu 2019. Mereka beranggapan bahwa banyaknya surat suara, akan menyulitkan mereka untuk menentukan pilihannya. Ditambah, pada kertas suara Calon DPR dan DPRD tidak disertai dengan foto. Adapun calon DPD dan calon Presiden yang disertai dengan foto, tetapi mereka tidak mengenalnya.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI), angka Golput di Pemilu 2019 diperkirakan akan mencapai 30%. Angka tersebut, jika dibandingkan dengan data dari KPU RI di Pemilu 2014, tergolong meningkat. Mayoritas mereka beralasan karena enggan untuk mengurus administrasi pindah KTP dan atau pindah Daerah Pemilihan (Dapil).

Dari beberapa fenomena yang sudah dijelaskan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa gerakan Golput, bukan serta merta karena tidak memiliki alasan. Justru Golput ada karena ada alasan yang sangat mendasar dan bersifat umum.

Namun faktanya, Golput saat ini dijadikan sebagai tolak ukur Pemilu dikatakan berhasil atau tidak. Pasalnya, jika angka Golput tinggi, secara otomatis tingkat partisipasi masyarakat terbilang rendah.

Jika tingkat partisipasi masyarakat rendah, maka pemilu dikatakan tidak berhasil.

Oleh karenanya, untuk meningkatkan angka partisipatif masyarakat dalam Pemilu, bukan tidak mungkin ketika masyarakat yang memilih untuk Golput dapat dijadikan sebagai gerakan masa. Mereka yang memilih untuk Golput, diberikan suatu wadah yang sesuai dengan apa yang mereka mau untuk kemudian dapat menyokong demokrasi di Indonesia agar lebih baik lagi. (Agus Wididi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun