Proyek angkutan massal cepat (AMC) di Surabaya, yang mencakup pembangunan monorel dan trem, sempat menjadi harapan besar untuk mengatasi masalah transportasi di kota ini.Â
Direncanakan selesai pada tahun 2015 dengan anggaran fantastis sekitar Rp 8,6 triliun, proyek ini diharapkan menjadi alternatif efektif untuk mengurai kemacetan Surabaya. Namun, hingga kini, rencana besar tersebut tak kunjung terwujud.
Ketersediaan AMC dirancang untuk merevolusi pola transportasi warga Surabaya. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, sekitar 70 persen warga kota adalah pengguna kendaraan pribadi, sementara hanya 30 persen yang menggunakan angkutan massal.
Hal ini diperparah dengan laju pertumbuhan kendaraan yang terus meningkat: motor bertambah 10 persen per tahun dan mobil naik lebih dari 5 persen per tahun.Â
Sementara itu, pertumbuhan jaringan jalan hanya mampu meningkat rata-rata 4 persen per tahun, jauh dari cukup untuk mengimbangi lonjakan jumlah kendaraan.
AMC diharapkan dapat membalikkan situasi ini. Targetnya, 70 persen warga beralih menggunakan angkutan massal, sementara pengguna kendaraan pribadi berkurang menjadi hanya 30 persen. Dengan begitu, kemacetan di Surabaya yang semakin mengkhawatirkan bisa diminimalisasi.
Namun, berbagai kendala terus menghantui proyek ambisius ini. Mulai dari masalah pembebasan lahan hingga persoalan teknis dan pendanaan, semuanya menjadi penghambat realisasi AMC.
Kendala pembebasan lahan menjadi tantangan awal yang signifikan, terutama karena rencana jalur AMC melintasi kawasan padat penduduk dan area strategis yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Proses negosiasi dengan pemilik lahan sering kali berjalan alot, memakan waktu lama, dan membutuhkan biaya yang besar untuk kompensasi.
Selain itu, persoalan teknis terkait desain dan konstruksi juga tidak kalah rumit. Proyek ini membutuhkan teknologi canggih yang memerlukan tenaga ahli serta perencanaan yang matang agar integrasi antara monorel, trem, dan sistem transportasi lainnya berjalan lancar.Â