Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nazaruddin Malik, Wedang Corona, dan Jurnalisme Digital

4 Agustus 2024   20:46 Diperbarui: 4 Agustus 2024   20:56 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nazaruddin Malik bersama para personalia Majelis Tabligh PWM Jatim. Foto: dok/majelistabligh.id

Cahaya matahari melewati celah-celah dedaunan. Garis-garis cahayanya terlihat tajam nan indah. Posisinya berada di sudut rendah. Sang surya, lamat tapi pasti, beranjak menepi. Mendekati cakrawala. Sinarnya berasa lembut. Mengalirkan kehangatan.

Sore itu, selepas asar, beberapa orang menuju warung kopi (warkop). Lokasinya di tengah kompleks perumahan Kertomenanggal, Surabaya. Sekira 35 meter dari Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim.

Warkop itu tak diberi nama. Hanya, banyak orang lebih familier menyebut nama pemiliknya, Mbak Wati. Warkop tersebut buka sejak tahun 1990-an. Kala itu, di depannya masih ada hamparan sawah yang subur. Luasnya sekitar empat hektar lebih. Sawah itu kini sudah tak produktif. Di sekelilingnya juga telah ditembok.

Sementara, Kantor PWM Jatim masih berupa bangunan rumah dua lantai. Belum semegah seperti sekarang. Gedung berlantai tiga. Punya aula yang dilengkapi instrumen digital. Para pengurus dan aktivis Muhammadiyah menjadikan warkop itu sebagai tempat pelepas penat. Selain ngopi, juga tersedia makanan menu rumahan, seperti sayur asem, sayur lodeh, sayur bening, dan lainnya.

Hari itu, Jumat (2/8/2024), usai Salat Ashar, saya bareng beberapa pengurus majelis tabligh ke warkop Mbak Wati. Suara sapaan terdengar akrab. Saya spontan menoleh. Melihat Prof. Nazaruddin Malik, rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tersenyum.

Prof Nazar, begitu sapaan karibnya, Dia sedang duduk berhadapan dipisahkan meja dengan Khoirul Abduh. Keduanya kini menjabat wakil ketua PWM Jatim. Di meja Prof Nazar tersedia segelas wedang Corona. Minuman favorit dia, jika tak lagi ingin minum kopi.

Wedang Corona ala Mbak Wati tersebut memang jadi andalan. Munculnya saat pandemi Covid-19. Ketika banyak orang lagi lagi getol mencari asupan untuk memperkuat imun dan antioksidan. Wedang Corona itu berisi jahe, serai, kayu manis, dan gula aren.

"Weh, yok opo kabare wartawan iki," ucap Prof Nazar yang mengenakan seragam bertuliskan "UMM" di dada kirinya.

Saya bergegas menghampiri, lalu menyalaminya. Prof Nazar, lalu meminta saya mengambil kursi, kemudian mempersilakan duduk dekat dengannya.

"Prof habis dari luar negeri, ya. Saya lihat foto-foto. Keren," kata saya yang memang berteman di Instagram.

Prof Nazar lantas tersenyum. Dia bilang baru pulang setelah melakukan lawatan ke Brasil. Ikut mendampingi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Prof. Muhadjir Effendy.

"Itu yang memfoto Mas Roy," ucap Prof Nazar, merespons komentar saya di beberapa spot yang dikunjunginya. Mas Roy yang dimaksud Prof Nazar itu adalah Dr. Rohman Budijanto, stafsus Menko PMK yang saya kenal akrab.

Seperti biasa, di warkop itu, kami larut dalam diskusi. Prof Nazar selalu bermurah hati membagi pengetahuan dan pengalaman. Terutama terkait isu-isu mutakhir. Sebagai akademisi, Prof Nazar mampu menjelaskan persoalan dengan detail dengan contoh yang mudah dipahami.

Saya dan juga teman aktivis lain, sangat senang berdiskusi dengan Prof Nazar. Apalagi mendengar pengalaman beliau yang menjadi bagian dalam membangun UMM hingga menjadi kampus Islam terbaik di dunia. Yang dulu banyak orang tak menyangka jika UMM yang kini menjadi universitas terpandang, berawal dari kondisi prihatin, serba terbatas dan kekurangan.

***

Nazaruddin Malik bersama para personalia Majelis Tabligh PWM Jatim. Foto: dok/majelistabligh.id
Nazaruddin Malik bersama para personalia Majelis Tabligh PWM Jatim. Foto: dok/majelistabligh.id


November 2023, saya bersama beberapa personalia Majelis Tabligh PWM Jatim melakukan survei lokasi. Tepatnya, di Hotel Kapal Garden Malang. Survei lokasi itu terkait rencana kegiatan Creative Writing Workshop for Mubaligh Muhammadiyah.

Saat perjalanan ke lokasi, kami kepikiran untuk melanjutkan silaturahmi ke Prof Nazar. Tujuannya ingin kulo nuwun. Sekaligus meminta bantuan pendanaan. Waktu itu, Prof Nazar masih menjabat Wakil Rektor II UMM.

Kami awalnya ragu. Karena kami tidak sempat mengirim surat. Semacam permintaan audiensi begitu. Yang kami bawa hanya proposal kegiatan. Kami lantas menghubungi Dr. Sholihin Fanani, wakil ketua PWM Jatim yang membidangi majelis tabligh dan lembaga dakwah komunitas (LDK). Meminta tolong menghubungi Prof Nazar terkait keinginan untuk bertemu.

Kiai Sholihin (panggilan akrabnya) menyanggupi. Singkat cerita, disampaikan kabar jika Prof Nazar menyatakan dengan senang hari mau menerima kami. Saya bersama tiga personalia majelis tabligh, Dr. Slamet Muliono Redjosari (wakil ketua), Munahar MPdI.(sekretaris), Amsikul Ma'arif SAg (bendahara), ditemui Prof Nazar di ruang kerjanya.

Kami menyampaikan rencana kegiatan pelatihan menulis untuk mubaligh tersebut. Berikut sasaran, pola, dan targetnya.

Prof Nazar pun menyambut antusias dan menyatakan dukungannya.

"Bagus sekali ini. Gini, perbaiki proposal ini. Kasihkan saya. Nanti tak bantu cari dana ke UM Surabaya dan Umsida. Kalau UMM pastilah membantu. Acaranya kapan, sih?" ucapnya seraya melihat lagi tanggal di proposal.

"Oke, siap," imbuh Prof Nazar.

Prof Nazar bilang jika dakwah bukan hanya di atas mimbar. Mubaligh perlu ketrampilan menulis untuk memperkuat dakwahnya. Apalagi di era digital, dengan menulis mubalig dapat menyampaikan pesan dakwah jauh lebih luas.

Melalui ketrampilan menulis dan memahami jurnalisme digital, tentu akan memberikan nilai plus bagi mubaligh. Karenanya, butuh kekuatan untuk mendorong para mubaligh agar bisa menulis dengan baik, kemudian diviralkan di media digital.

Prof Nazar memang concern dengan perkembangan teknologi. Tak terkecuali dengan tren jurnalisme digital yang terus berkembang dan berevolusi dengan cepat. Di mana kita harus adaptif dan kreatif untuk tetap relevan dan berkelanjutan di era digital.

Sebelum pulang, Prof Nazar sempat mendiskusikan keinginan dia untuk mensinergikan program majelis tabligh dengan pondok pesantren yang baru dibeli UMM. Lokasinya di Karangploso, Kabupaten Malang. Berdiri di atas lahan seluas 1,1 hektar.

Pondok tersebut kemudian diresmikan dengan nama Pondok Pesantren Abdul Malik Fadjar (International Islamic Boarding School) pada 21 Februari 2024.

Nazaruddin Malik di warkop Mbak Wati. Foto: majelistabligh.id
Nazaruddin Malik di warkop Mbak Wati. Foto: majelistabligh.id

***

Wedang Corona di gelas masih tersisa. Beberapa teman yang baru datang ikut nimbrung. Kami makin gayeng berdiskusi dengan Prof Nazar.

"Sampeyan percoyo (Anda percaya), saya dulu bercita-cita jadi wartawan. Temen (sungguh)," ujar pria kelahiran Magelang, 24 Juni 1964 ini.

Dia lalu menceritakan, keinginan menjadi wartawan dulu lantaran dia sangat menyukai dunia jurnalistik. Dia menjadi pelopor berdirinya pers kampus saat menjadi saat menjadi mahasiswa Universitas Widyagama Malang.

Dari aktivitas jurnalistik yang ditekuni, Prof Nazar sempat dicalonkan menjadi ketua pers kampus se-Indonesia.

Bukan hanya itu saja. Usai lulus S-1 dari Universitas Widyagama Malang, tahun 1988, Prof Nazar berkeinginan untuk menjadi wartawan profesional. Dia pun meniatkan diri untuk berangkat ke Jakarta. Berkarier menjadi seorang jurnalis.

Keinginan Prof Nazar itu kemudian didengar oleh ayahnya, Prof. Abdul Malik Fadjar, mantan Menteri Pendidikan Nasional, (kini sudah almarhum). Sang ayah hanya bilang kalau apa pun pekerjaan harus dilakukan dengan tekun dan istiqomah.

Namun, Prof. Muhadjir Effendi (kini Menko PMK) yang menjadi kader Prof. Abdul Malik Fadjar, tidak kelewat mendukung jika dirinya berkarier di dunia jurnalistik.

"Pak Muhadjir tidak setuju. Beliau malah mendorong saya jadi bankers. Disuruh sekolah ke LPPI (Lembaga Pendidikan Perbankan Indonesia) punya BI (Bank Indonesia). Waktu itu, saya malah ngelamar jadi periset di World Bank," tutur Prof Nazar, mengenang.

Tahun 1992, dia melanjutkan S-2 di Universitas Gadjah Mada (UMG) Yogyakarta. Mengambil Program Magister ESDM & Kependudukan dan lulus, tahun 1995. Dia menulis tesis berjudul "Penyerapan & Produktivitas Pekerja Industri Rokok di Malang."

Keinginan untuk menekuni bidang Ilmu Manajemen dia wujudkan dengan melanjutkan S-3 di Universitas Brawijaya Malang, tahun 2023. Di sana dia menyelesaikan studi, tahun 2007 dengan menulis disertasi berjudul "Strategi Sumber Daya Manusia & Kinerja Pasar Perbankan."

Di usia 60 tahun, Prof Nazar masih terlihat energik. Dia juga selalu terlihat bersemangat ketika berbicara tentang topik-topik aktual, manajemen, sejarah, pendidikan, dan politik. Matanya berkilau setiap kali ia membahas sesuatu yang memotivasinya.

Prof Nazar dikenal rakus membaca buku. Banyak sekali koleksi buku di rumahnya. Sesekali, ketika ada waktu luang, dia menyempatkan diri untuk menulis yang menjadi salah satu hobinya. (agus wahyudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun