Prof Nazar pun menyambut antusias dan menyatakan dukungannya.
"Bagus sekali ini. Gini, perbaiki proposal ini. Kasihkan saya. Nanti tak bantu cari dana ke UM Surabaya dan Umsida. Kalau UMM pastilah membantu. Acaranya kapan, sih?" ucapnya seraya melihat lagi tanggal di proposal.
"Oke, siap," imbuh Prof Nazar.
Prof Nazar bilang jika dakwah bukan hanya di atas mimbar. Mubaligh perlu ketrampilan menulis untuk memperkuat dakwahnya. Apalagi di era digital, dengan menulis mubalig dapat menyampaikan pesan dakwah jauh lebih luas.
Melalui ketrampilan menulis dan memahami jurnalisme digital, tentu akan memberikan nilai plus bagi mubaligh. Karenanya, butuh kekuatan untuk mendorong para mubaligh agar bisa menulis dengan baik, kemudian diviralkan di media digital.
Prof Nazar memang concern dengan perkembangan teknologi. Tak terkecuali dengan tren jurnalisme digital yang terus berkembang dan berevolusi dengan cepat. Di mana kita harus adaptif dan kreatif untuk tetap relevan dan berkelanjutan di era digital.
Sebelum pulang, Prof Nazar sempat mendiskusikan keinginan dia untuk mensinergikan program majelis tabligh dengan pondok pesantren yang baru dibeli UMM. Lokasinya di Karangploso, Kabupaten Malang. Berdiri di atas lahan seluas 1,1 hektar.
Pondok tersebut kemudian diresmikan dengan nama Pondok Pesantren Abdul Malik Fadjar (International Islamic Boarding School) pada 21 Februari 2024.
***
Wedang Corona di gelas masih tersisa. Beberapa teman yang baru datang ikut nimbrung. Kami makin gayeng berdiskusi dengan Prof Nazar.