Pekan lalu, saya mengunjungi beberapa daerah di Jawa Timur. Melihat dari dekat kondisi mutakhir pertanian dan ketahanan pangan, di mana Jatim hingga kini masih ditetapkan menjadi provinsi lumbung pangan nasional.
Beberapa daerah yang saya kunjung tersebut memang memiliki dampak kuat dan sangat kontributif dalam pengendalian ketahanan pangan. Banyak inovasi dan kreativitas dilakukan untuk menjaga urusan pangan selalu tercukupi.
Selain itu, aktivitas yang  saya lakukan  juga lantaran terkait dua event yang digelar secara periodik oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur. Kebetulan, saya ditunjuk menjadi salah satu mewakili unsur media.
Kedua event tersebut: Award Peduli Ketahanan Pangan 2023. Satu lagi, Pemilihan Duta Petani Andalan.
Penghargaan peratama untuk prestasi dan upaya yang dilakukan kepala daerah dalam menciptakan kondisi masyarakat yang tahan pangan.
Ada tiga yang dilombakan. Pertama, Kategori Bidang Ketersediaan Pangan yang terkait  peningkatan produksi pangan, pemanfaatan kahan marjinal, dan peningkatan kualitas hasil produks, dan lain-lain.
Kedua, Kategori Bidang Distribusi Pangan yang terkait efisiensi rantai distribusi pangan.Â
Ketiga, Kategori Bidang Pemanfaatan Pangan yang memfokuskan pada penganekaragaman atau diversifikasi pangan lokal, keamanan Pangan, dan lain-lain.
Penghargaan kedua diberikan para petani muda atau petani milenial. Mereka yang mampu eksis dengan mengembangkan dan memajukan sektor pertanian.
Petani Andalan yang menjadi pelopor inovasi di bidang  pertanian tentunya. Yang berkontribusi aktif  dalam memberikan informasi terkait pertanian baik berupa inovasi atau aktivitas yang berdampak positif terhadap pembangunan pertanian.
Kami menempuh perjalanan daerah yang tidak sesuai "rute normal". Karena verifikasi lapangan yang kami lakukan ini juga harus menyesuaikan dengan jadwal kepala daerah.
Seperti saat kami menyelesaikan verifikasi lapangan ke Kabupaten Ngawi, harusnya bisa berlanjut ke Kota Madiun. Namun karena kesepakatan jadwal dengan kepala daerah yang sudah siap, kami pun harus mengunjungi Kabupaten Sumenep, kemudian kembali ke Blitar. Baru setelahnya ke Kota Madiun.
Tapi overall kami bersyukur dan plong. Tugas di semua daerah daerah yang masuk penilaian bisa dilakukan mulus. Semuanya sangat antusias menyambut kedatangan kami. Bukan cuma para birokrat, tapi juga masyarakatnya.
***
Saya dan juga tim penilai memberi perhatian besar kepada keberadaan petani milenel. Mereka sejatinya digadang-gadang menghidukan kegiatan produkti di di bidang pertanian.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi mengapa petani milenial sangat dibutuhkan. Pertama, kebutuhan akan regenerasi petani.
Problem ini dialami hampir semua petani di Indonesia. Rata-rata para petani sekarang usianya di atas 54 tahun. Bahkan tak sedikit yang bisa dianggap usia purna tugas alias berusia lanjut.
Mereka masih tetap bekerja karena anak-anaknya tidak mau melanjutkan kegiatannya di bidang pertanian. Emoh menjadi petani, begitu gampanganya.
Profesi petani, bagi mereka, dianggap kurang menjanjikan dari segi finansial. Mereka lebih memilih bekerja di bidang industri yang kemudian membuat mereka harus hijrah ke perkotaan.
Kedua, pemanfaatan teknologi pertanian. Mindset mayoritas petani kini masih menggunakan cara-cara konvensional.
Mereka jarang sekali menyentuh atau belajar tentang teknologi pertanian untuk pengolahan hasil pertanian. Hal itu digunakan untuk membantu meningkatkan nilai tambah hasil pertanian dan mendukung keberlanjutan sektor pertanian.
Belum lagi dengan teknologi pertanian berkelanjutan yang mencakup teknik pertanian yang ramah lingkungan dan efisien dalam penggunaan sumber daya. Salah satu contohnya terkait penggunaan pupuk organik.
Hingga kini, belum banyak yang menggunakan dan masih bergantung pada pupuk anorganik. Yang saya jumpai, ada beberapa kelompok petani di Jawa Timur yang mulai menggunakan pupuk organik, tapi jumlahnya masih kecil.
Ketiga, menyempitnya lahan pertanian. Banyak lahan pertanian sudah tergerus dan beganti dengan bangunan perumahan, infrstrukstur, dan lain sebagainya.
Saya belum menemukan ada daerah yang melaporkan jumlah  lahan pertaniannya bertambah. Sebaliknya, banyak darah mengajukan evaluasi penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK).
***
Banyak pemerintah daerah kini mulai mendekati anak-anak muda agar mau bekerja di bidang pertanian. Di Kabupaten Ngawi, misalnya, petani milenial mulai tumbuh. Pemerintah daerah memberi memberikan fasilitas khusus bagi mereka yang mau menjadi petani.
Sedikitnya, ada 600 petani milenial yang eksis di Ngawi. Kehadiran mereka diakui bertumbuh sejak tahun 2020. Ketika itu, masa krisis akibat pandemi covid-19.
Dengan berorientasi pada pertanian ramah lingkungan berkelanjutan, para petani milenial ikut terlibat dalam pengelolaan lahan. Mereka juga ikut mengatur pasar untuk penjualan komoditas pertanian.
Dengan keterlibatan itu, para petani milenial mendapat cuan yang menyamai bahkan melebihi upah minimum kabupaten/kota (UMK). Belakangan saya tahu, kalau besaran cuan itu menjadi daya tarik bagi anak muda lain untuk menjadi petani milenial.
Lain halnya di Kabupaten Sampang. Di sana, para petani milenial ikut membantu menghidupkan lahan marjinal di daratan tinggi.
Lahan-lahan tersebut kemudian disulap menjadi lahan produktif dengan ditanami bawang merah. Hingga tahun 2022, Sumenep mampu  memproduksi bawah merah sebanyak 11,5 ton. Â
Di Sumenep,  para petani milenial difasilitasi dengan dibangunnya sentra pengolahan bawang merah. Namanya Permata Indah Rubaru (PIR). Luasnya satu hektar. Peralatannya cukup lengkap dan modern. Di antaranya, bangsal, instone driying, solar dome, dan greenhouse.
Ketika mengunjungi PIR, kami harus melawati jalan yang terjal dan berkelok. Cuacanya lumayan menyengat. Sepanjang perjalanan kami menyaksikan banyak lahan marjinal. Terlihat tandus dan kering. Terlihat beberapa pipa dipasang  untuk menyirami lahan tersebut.
Para petani milenial di Sumenep melakukan diversifikasi produk olahan. Yang paling moncer adalah produk bawang goreng kemasan. Selian itu ada pasta bawang merah, cemilan bawang merah, tepung bawang merah, dan abon cabe.
Ketika saya berkunjung ke sana, produk bawang goreng ini dipersipkan bakal dikirim ke Den Haag Belanda. Jumlahnya 1.680 pcs. Pengiriman ini setelah PIR meneken MoU dengan perusahaan importir Ben Helen International.
Keberadaan petani milenial dirasakan sangat urgen. Merekalah yang sepantasnya melanjutkan estafet kegiatan pertanian di daerah sekaligus meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi pertanian dengan menggunkan instrumen yang lebih modern.
Hanya saja, untuk mewujudkan tidaklah seperti membalik tempe goreng. Butuh kolaborasi positif antara masyarakat dan tentu saja keberpihakan pemerintah. (agus wahyudi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H