Mereka jarang sekali menyentuh atau belajar tentang teknologi pertanian untuk pengolahan hasil pertanian. Hal itu digunakan untuk membantu meningkatkan nilai tambah hasil pertanian dan mendukung keberlanjutan sektor pertanian.
Belum lagi dengan teknologi pertanian berkelanjutan yang mencakup teknik pertanian yang ramah lingkungan dan efisien dalam penggunaan sumber daya. Salah satu contohnya terkait penggunaan pupuk organik.
Hingga kini, belum banyak yang menggunakan dan masih bergantung pada pupuk anorganik. Yang saya jumpai, ada beberapa kelompok petani di Jawa Timur yang mulai menggunakan pupuk organik, tapi jumlahnya masih kecil.
Ketiga, menyempitnya lahan pertanian. Banyak lahan pertanian sudah tergerus dan beganti dengan bangunan perumahan, infrstrukstur, dan lain sebagainya.
Saya belum menemukan ada daerah yang melaporkan jumlah  lahan pertaniannya bertambah. Sebaliknya, banyak darah mengajukan evaluasi penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK).
***
Banyak pemerintah daerah kini mulai mendekati anak-anak muda agar mau bekerja di bidang pertanian. Di Kabupaten Ngawi, misalnya, petani milenial mulai tumbuh. Pemerintah daerah memberi memberikan fasilitas khusus bagi mereka yang mau menjadi petani.
Sedikitnya, ada 600 petani milenial yang eksis di Ngawi. Kehadiran mereka diakui bertumbuh sejak tahun 2020. Ketika itu, masa krisis akibat pandemi covid-19.
Dengan berorientasi pada pertanian ramah lingkungan berkelanjutan, para petani milenial ikut terlibat dalam pengelolaan lahan. Mereka juga ikut mengatur pasar untuk penjualan komoditas pertanian.
Dengan keterlibatan itu, para petani milenial mendapat cuan yang menyamai bahkan melebihi upah minimum kabupaten/kota (UMK). Belakangan saya tahu, kalau besaran cuan itu menjadi daya tarik bagi anak muda lain untuk menjadi petani milenial.
Lain halnya di Kabupaten Sampang. Di sana, para petani milenial ikut membantu menghidupkan lahan marjinal di daratan tinggi.