Saya selalu senyum-senyum sendiri bila teringat pengalaman yang satu ini. Kejadian tepatnya saya lupa. Sekira pada Mei 2016. Saat memasarkan buku kumpulan cerpen yang saya tulis. Judulnya, Melukis Rumah Di Surga.
Buku tersebut saya cetak secara indie. Kebetulan, ada sponsor yang mau membantu untuk mendanai. Kompensasinya dengan memasang logo  brand-nya di sampul belakang buku tersebut.
Seperti lazimnya penulis, saya giat mempromosikan buku tersebut. Seorang teman yang juga redaktur Jawa Pos, Firzan Syahroni, mengutus wartawannya untuk mewawancarai saya atas "kelahiran" buku itu.
Saya tentu senang dan bangga. Juga berasa bernostalgia, karena selama 15 tahun saya melakoni tugas sebegai jurnalis, sebelum akhirnya resign dari koran Radar Surabaya, 2011.
Dalam wawancara saya menyebutkan jika buku ini sebagai pelunasan "utang" saya kepada Dahlan Iskan. Dia adalah guru jurnalistik yang sangat saya hormati.
Kenapa utang? ceritanya di tahun 2006. Kala itu, saya telah melaunching buku Sketsa Tokoh Suroboyo (2006). Yang memberi kata pengantar, Dahlan Iskan.
Setelah buku itu terbit dan dipajang di toko-toko buku ternama, saya bertemu Dahlan lagi di dalam lift Graha Pena. Dia bertanya kepada saya, kapan saya akan menulis lagi?
Saya menggunakan salah satu penerbit di Jogjakarta untuk mengurus percetakan sekaligus distribusinya.
Pada rentang waktu yang panjang itu sejatinya saya tidak berhenti menulis buku. Namun bukan tunggal. Saya berkolaborasi dengan beberapa penulis di Jawa Timur.
Setidaknya ada 10 buku yang saya tulis keroyokan bersama penulis-penulis lain. Semua buku-buku tersebut dicetak. Ada yang untuk edukasi dengan dibagikan secara cuma-cuma. Ada pula yang dikomersialkan.