Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sejak Dulu, Nuansa Budaya di Surabaya Cenderung Garing

29 Januari 2023   16:29 Diperbarui: 30 Januari 2023   11:13 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senang sekaligus bangga. Begitulah yang saya rasakan setelah melihat respons pembaca artikel saya di Kompasiana yang berjudul, "Dua Ikon Wisata Surabaya Dihidupkan Lagi, Mungkinkah?".

Artikel tersebut saya unggah pada 26 Januari 2023 lalu. Saya menulisnya karena dilandasi oleh keprihatinan dan kecemasan.
Pasalnya, Taman Hiburan Rakyat (THR) dan Taman Remaja Surabaya (TRS) nasibnya memang sungguh memprihatinkan.

Dua tempat legendaris yang dulu jadi ikon Surabaya itu memang sudah lama dibiarkan mangkrak. Ditumbuhi semak belukar. Sisa-sisa bangunan masih ada, namun sudah terlihat rusak berat. Hancur. Sangat tak elok dipandang mata.

Kemudian Pemerintah Kota Surabaya menyampaikan keterangan pers. Di mana, bakal dihidupkan lagi. Dibangun lagi. Targetnya tahun ini selesai. Sayang, tidak disebutkan siapa investor yang menyatakan sanggup mengelola tempat tersebut.

Saya perlu mengutip komentar dan tanggapan beberapa kompasianer terhadap rencana revitalisasi THR-TRS tersebut. Karena hal itu bisa jadi masukan yang bagus bagi Pemerintah Kota Surabaya, yang kini sudah memulai proses pembangunan di THR dan TRS.

Seperti yang disampaikan Rd: kalau baca THR saya ingatnya malah pusat toko komputer di sampingnya, Surabaya Mall yang dulu disebutnya Mall THR, tempat saya suka melihat-lihat produk komputer dulu saat kuliah di Surabaya.

Soal menghidupkan lagi dua pusat hiburan itu, harus lebih inovatif sih, lebih-lebih sekarang persaingan bisnis di kota Sby yang semakin menjadi sekarang, pengelolaannya yang memang kudu serius, ya smeoga saja keinginan penulis terwujud. amin

Ada lagi dari Hadi Saksono: Ingat THR Surabaya jadi ingat patung Gombloh. Mungkin jika berkenan nama THR menjadi Taman Gombloh kelak jika sudah direnovasi, sebagai bentuk penghargaan pada seniman legendaris asal Surabaya ini, seperti halnya Gedung Cak Durasim di Surabaya, atau Taman Ismail Marzuki di Jakarta. Sekedar angan.

Sungkowo: Ketika masih muda dulu saya sangat akrab dengan THR dan TRS karena taman hiburan yang merakyat, murah meriah dan menyenangkan. Pada 1999 meninggalkan Surabaya hingga kini tak pernah lagi ke taman ini. Terima kasih berbagi informasi ini. Semoga rencana ini terealisasi. Salam.

Akbar Pitopang: kalau membawa manfaat dan edukasi, reaktivasi saja ya pak?

H.I.M: Kebetulan dulu sempat magang di surabaya jadi sedikit paham permasalahan yg dialami THR. Semoga ada perbaikan yg positif ya pak

Hanif Sofyan: ada ruang unutk berekepresi lagi bagi para seniman-semoga terlaksana, ulasan menarik Mas Agus, salam literasi;)

Pembongkaran sarana bermain di TRS. foto:galih adi prasetyo/jawa pos
Pembongkaran sarana bermain di TRS. foto:galih adi prasetyo/jawa pos

***

Nuansa budaya kurang hadir di Surabaya. Perhatian kota ini banyak ditujukan dalam urusan seperti infrastruktur, kebersihan, taman, dan bisnis.

Argumen tersebut agaknya bisa diterima. Karena Surabaya menjadi kota jasa dan perdagangan yang kelewat sibuk dengan pemenuhan kebutuhan hidup alias periuk nasi.

Sejak era Tri Rismaharini, Surabaya banyak membangun jalan besar. Di antaranya Middle East Ring Road (MERR), dan Frontage Road yang kemudian menumbuhkan geliat ekonomi dan membuat tanah-tanah di sekitarnya menjadi mahal.

Tahun 2023 ini, Pemerintah Kota Surabaya masih membangun jalan baru. Yakni, radial road dan proses pengerjaan Jalan Lingkar Luar Barat (JLLB), Jalan Lingkar Luar Timur (JLLT).

Data yang disampaikan di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM) Kota Surabaya 2023, rata-rata per tahun mulai 2016-2020, ada penambahan jalan sepanjang 6,25 km di Surabaya.

Potret kota itu pada akhirnya perdampak pada keringnya aktivitas budaya. Banyak budaya di Surabaya yang sulit berkembang dan nyaris hilang ditelan zaman.

Akhir tahun 2022 lalu, saya ikut menyusun buku Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Surabaya. Diterbitkan oleh Dinas Perpustaan dan Arsip (Dispusi) Kota Surabaya.

Saya diplot menulis Manten Pegon. Tradisi upacara atau prosesi pernikahan Surabaya. Yang mulai populer di era kolonial sekitar abad ke-19. Memiliki keunikan dan sangat identik dengan karakteristik masyarakat Surabaya yang multikultural, egaliter, dan terbuka.

Kilau Manten Pegon kian hari kian meredup. Masyarakat Surabaya makin jarang yang menggunakan Manten Pegon untuk melaksanakan pesta pernikahan. Hanya sebagian kecil, itu pun yang tinggal di beberapa kawasan pinggiran.

Kantong-kantong berkesenian di Surabaya juga tidak bergairah. Bahkan sebagian sudah tidak ada lagi. Dulu, Surabaya punya Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera). Berdiri sejak tahun 1967-1972. Yang mendirikan para seniman Surabaya.

Sejarahnya, Aksera mewadahi calon seniman dalam bentuk pendidikan formal. Serta banyak mencetak seniman besar yang mewarnai khasanah dunia seni rupa Indonesia, di antaranya, Thalib Prasojo, Hardi, Dwijo Sukatmo, Nunung WS, Ari Setiawan, dan lainnya.

Aksera sebelumnya melakukan aktivitas di Balai Pemuda. Kemudian pindah di kawasan Dukuh Kupang. Keberadaan Aksera tidak kelewat cemerlang sekarang. Pemerintah Kota Surabaya juga tak tergerak untuk menyelamatannya.

Gedung di THR dan TRS yang masih tersisa. foto:diskominfo surabaya
Gedung di THR dan TRS yang masih tersisa. foto:diskominfo surabaya

***

Kini, THR dan TRS dalam proses revitalisasi. Salah satu tujuannya untuk mewadani aktiviitas seni dan budaya. Menyediakan tempat untuk para pegiat seni dan budaya.

Ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian. Pertama, penataan baru THR-TRS tersebut harus dibarengi konsep yang matang. Jangan sampai hanya mengejar target, penataan THR-TRS yang baru nanti tidak banyak manarik dan tidak merangsang publik untuk datang.

Pemerintah Kota Surabaya perlu mendengar masukan komunitas maupun pegiat seni dan budaya. Juga para pelaku usaha yang bergerak di sektor pariwisata.

Ada pengalaman seorang teman. Dia biasa mengantar turis dari kapal pesiar. Bagi wisatawan asing, tak ada yang menarik dari keriuhan di mal. Justru tempat-tempat tersembunyi seperti di pasar tradisional, makam tua, blusukan di kampung yang membuat mereka antusias datang.

Di pasar tradisional, meski kotor dan becek, mereka sangat senang mendatanginya. Karena persepsi mereka, di pasar ada etos kerja, mereka yang bekerja siang dan malam, dan tanggung jawab.

Beberapa hari lalu, saya ikut mendampingi kunjungan mahasiswa dan dosen Federation University of Australia. Mereka antusias diajak ke kawasan Ampel, Makam Belanda Peneleh, dan blusukan ke Sumur Jobong di Kampung Pandean.

Kedua, model kerja sama dengan investor atau pihak ketiga. Sampai sekarang Pemerintah Kota Surabaya belum menjelaskan secara detail. Siapakah yang menjadi operatornya? Di mana posisi pegiatan seni budaya jika THR-TRS setelah selesai direvitalisasi?

Di Surabaya ada Dewan Kesenian Surabaya (DKS). Lembaga tersebut dibentuk oleh SK Wali Kota Surabaya. Punya kantor di kompleks Balai Pemuda Surabaya

Awalnya, DKS sering menjadi mitra untuk berkegiatan. Namun belakangan agak jarang terlihat berkolaborasi lagi. Lantas, bagaimana menempatkan posisi DKS tersebut?

Ketiga, keberadaan Hi-Tech Mall. Sampai sekarang Hi-Tech Mall masih ada di kompleks THR. Hanya aktivitas pedagangnya sudah sangat jauh berkurang. Bisa dibilang sepi.

Para pedagang Hi-Tech Mall sudah banyak yang pindah di mal lain. Di antaranya di ITC Mega Grosir, Kaza City Mall, dan Plaza Marina. Selain di mal, mereka juga aktif berjualan online. 

Beberapa waktu lalu, Pemerintah Kota Surabaya menyatakan akan melakukan optimalisasi aset eks gedung Hi-Tech Mall dalam bentuk sewa. Jika sudah ada pihak ketiga yang menyewa, Hi-Tech Mall bisa cepat difungsikan sebagaimana mestinya.

Pola yang bisa mengintegrasikan aktivitas bisnis dengan seni dan budaya harus segera dirumuskan. Setidaknya ada dialog yang sehat, sehingga kepentingan keduanya bisa berjalan beriringan.

Surabaya perlu menghidupkan ruang-ruang berekspresi. Menyediakan wahana seni dan budaya adalah salah satunya.

Masyarakat butuh oase yang menyejukkan dan menyehatkan. Karena sesuai fitrahnya, manusia memiliki emosi, imajinasi atau perasaan untuk menikmati dan berkarya dengan segala keindahannya. (agus wahyudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun