Namun ada cerita lucu. Suatu ketika, Dahlan semasa di Kembang Jepun pernah ditegur pesuruh. Namanya Suryadi. Saya kenal baik dengan dia semasa masih bekerja di Radar Surabaya.
Ceritanya, pagi itu, Suryadi melihat Dahlan duduk di tangga sambil baca koran. Kala itu, Suryadi tak kenal siapa Dahlan. Karena dia baru masuk di Jawa Pos. Suryadi meminta Dahlan berpindah tempat karena tangga itu dipakai orang lewat.
Dahlan lalu bangun dan pindah di lobi. Kali ini Dahlan duduk sambil kakinya diselonjorkan di atas meja. Masih membaca koran juga. Suryadi geram, lalu menghampiri Dahlan lagi  seraya bilang dengan nada agak meninggi," Pak, ini kantor bukan warung!"
Dahlan tidak marah, hanya bilang, "Oh ya, terima kasih dik." Dahlan lalu pergi ke ruang redaksi. Kali ini lebih nekat lagi. Dahlan duduk di atas meja yang biasa dipakai rapat redaksi sambil baca koran.
Suryadi yang melihat itu bergegas masuk karena ingin mengusir Dahlan lagi. Namun kenekatannya rupaya terlihat Oemiyati, sekretaris redaksi Jawa Pos. Mbak Umi, begitu panggilan karibnya.
"Sur, iku ngono bosmu. (Sur, dia itu bosmu, red)," kata Umi.
"Pancen mokong wong iku mbak, ket maeng iku. (Memang kurang ajar orang itu mbak, dari tadi seperti itu, red)," jawab Suryadi.
"Wes, mrono o, tak urusane (Sudah kamu ke sana, saya yang ngurusi, red)," ucap Umi yang tersenyum melihat kenekatan Suryadi.
Masih dengan kegembiraan. Para subtracker diajak menyisir Jalan Karet, jalan tertua di kawasan Pecinan. Letaknya di tepian Kalimas yang dulu dikenal sebagai jalur urat nadi perekonomian, perdagangan, perhubungan dan pembangunan.
Di Jalan Karet inilah, para peserta diajak mengunjungi rumah-rumah peradaban kuno etnis Pecinan. Di antaranya Rumah Abu Han, Rumah Abu The dan Rumah Abu Tjoa.