Nama makam itu, bagi saya, juga unik. Ada percampuran Arab dan Tionghoa. Menurut penjelasan Noto (60) juru kunci makam, Syech Sin Abdurrahman adalah orang Tionghoa yang beragama Islam.
Dulu, kata Noto, bentuk bangunan yang melindungi makam terbuat dari kayu dan sesek (ayaman dari bambu). Tidak seperti sekarang yang konstruksinya dari batu bata.Â
"Kenapa dinamakan Buyut Tonggo, konon menurut cerita masyarakat Syech Sin Abdurrahman ini orangnya suka nonggo (datang ke tetangga)," ujar dia, lalu tersenyum.
Di dalam area Pasar Bong sendiri juga masih terdapat bangunan dan rumah-rumah tua dari era kolonial. Jika mencermati langgam bangunan, arsitekturnya berasal dari era akhir abad 19 dan awal abad 20.
***
Perjalanan berikutnya ke Jalan Kembang Jepun. Kawasan yang dikenal sebagai pusat perdagangan dari zaman ke zaman. Kawasan perdagangan ini "jam hidupnya" pukul 08.00 sampai 17.00. Setelah itu sepi nan sunyi.
Pemerintah Kota Surabaya mencoba menghidupkan kawasan Kembang Jepun ini dengan Kya-Kya, semacam sentra kuliner. Sayang setelah dilaunching September 2022 lalu, Kya-Kya sulit berkembang. Bahkan beberapa pedagang sudah ada yang tutup. Â Â
Di Kembang Jepun, para peserta Subtrack berkesempatan melihat seisi gedung kolonial yang dulu pernah dipakai Uniebank. Dibangun tahun 1880-an. Gedung itu kini ditempati Radar Surabaya, koran grup Jawa Pos.
Gedung eks Uniebank tersebut masih terlihat kokoh dan eksotik. Desain bangunannya bergaya art deco. Dulu, tempat ini menjadi kantor redaksi Jawa Pos. Masa itu, Dahlan Iskan yang menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos, sering tidur-tiduran di meja besar di lantai bawah.
Dahlan terbilang cuek, meski di tempat itu jadi lalu lintas tamu. Kelakuan Dahlan tidur-tiduran itu masih terbawa ketika Jawa Pos pindah ke Graha Pena, gedung baru yang dibangun di Jalan Ahmad Yani, Surabaya.