Pagi itu, mendung menggelayuti langit Surabaya. Kelenteng Hok An Kiong belum banyak tamu datang. Terlihat beberapa polisi berjaga di depan. Jalanan di sekitar Pecinan terlihat lengang. Â Â Â Â
Para peserta Subtrack yang sudah berkumpul tersebut berasal dari Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. Mereka dari beragam profesi. Ada dokter, pengusaha, dosen, guru, jurnalis, influencer, dan lain sebagainya.Â
***
Jelajah sejarah berikutnya mengunjungi Pasar Bong. Pasar ini dulunya bekas kuburan China. Pasar yang legendaris. Keluarga saya kalau beli oleh-oleh haji dan umroh acap di Pasar Bong. Harganya murah. Apalagi kalau membeli dalam jumlah besar alias grosiran.
Bagi saya, masuk Pasar Bong adalah yang pertama kali. Ya, meski lokasi pasar itu hanya 2 km dari rumah saya. Saya juga sering melintas di depannya, tapi saya belum pernah tahu detail seisi Pasar Bong.
Saya dan juga para subtracker lain juga dibuat kaget. Pasalya, pasar ini tidak hanya disesaki stan-stan yang menjajakan perlengkapan alat salat, baju muslim, baju muslimah, kerudung dan lainnya, tapi ada beberapa kuburan dan bekas kuburan yang sudah ditindih bangunan.
Saya baru tahu setelah para pemandu menunjukkan peta lawas Surabaya. Di mana ditunjukkan spot-spot yang dulunya kuburan. Kata bong itu sendiri artinya pekuburan Tionghoa.
Makam-makam Tionghoa di sana sudah banyak hilang dan berganti bangunan stan pasar dan rumah-rumah baru. Hanya sedikit sekali menyisakan bekas bong.
Ada lagi, satu makam yang masih dipelihara. Makam Buyut Tonggo atau Syech Sin Abdurrahman. berada di sebuah bangunan di lorong sempit. Bangunannya dari batu bata. Ada dua patok nisan yang membujur utara-selatan. Tidak ada kesan makam ini sebagaimana model leluhur makam etnis Tionghoa yang berbentuk bong.