Akhirnya bisa memenuhi keinginan jalan-jalan di liburan Imlek 2023. Minggu (22/1/2023) pagi, saya ikut jelajah sejarah yang diadakan Begandring Soerabaia dalam program Surabaya Urban Track (Subtrack). Temanya juga unik: "Jejak Tionghoa Peranakan di Surabaya."
Memang, seberapa besar sih Tionghoa peranakan di Surabaya? Tidak ada data pasti. Hanya diyakini jumlahnya lumayan banyak. Mereka yang dulu berpusat di Surabaya utara, kini menyebar di semua wilayah, baik pusat, timur, barat dan selatan.
Menurut kawan akrab saya, Freddy H Istanto, Â keberadaan Tiongoa peranakan ini sudah mengalami kemajuan pesat. Mereka lebih terbuka dan adaptif dengan perkembangan zaman.
Freddy yang dosen Arsitektur-Interior Fakultas Industri Kreatif Universitas Ciputra Surabaya itu, menyebut bahawa bahasa yang digunakan Tionghoa peranakan jauh lebih gaul. Dulu, yang akrab di telinga sebutan koko, cece, susuk, dan ai. Sekarang, mereka biasa menggunakan panggilan om dan tante.
Generasi Tionghoa peranakan di Surabaya juga punya perspektif dalam menentukan masa depan. Mereka bukan hanya berdagang (biasanya mewarisi orang tua), tapi ada yang menjadi dokter, pengacara, insinyur, dan profesional lainnya.Â
Pukul 08.15 WIB, saya tiba di Kelenteng Hok An Kiong di Jalan Coklat Nomor 2. Tempat itu memang dijadikan titik kumpul peserta Subtrack. Puluhan orang memakai keplek peserta dan panitia bergerombol di depan kelenteng.
Kelenteng Hok An Kiong sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya tahun 2012. Kelenteng ini merupakan yang tertua di Surabaya. Dibangun pada tahun 1830.
Kelenteng Hok An Kiong dipenuhi ornamen khas Tionghoa kuno didominasi warna merah dan tulisan tinta emas. Pada dinding ruang utama terdapat cerita bergambar Sam Kok, yaitu cerita tiga kerajaan melegenda di tanah Tiongkok.
Kelenteng Hok An Kiong cukup unik. Karena memiliki 22 altar dewa. Jumlah ini terbilang paling banyak dibanding kelenteng lain di Surabaya. Patung-patung dewa itu tersebar di dua ruang utama dan ruang samping.