Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahas Wisata Peneleh, "Rapat Dinas" Pindah di Lodji Besar

6 Januari 2023   16:27 Diperbarui: 6 Januari 2023   16:38 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para peserta begandringan di Lodji Besar. foto: dedi angga

Saya harus menulis kawasan Peneleh lagi. Untuk kesekian kalinya. Bukan soal kegenitan, tapi dinamikanya memang unik. Dari denyut kehidupan sampai aktivitas-aktivitas baru yang belakangan mencuri perhatian publik. 

Juga dengan respons beberapa orang. Setelah yang terakhir saya menulis artikel soal para pekerja difabel dari Arsyadina, UMKM di bidang konveksi. Ya, mereka yang tunarungu dan tunawicara yang antusias ikut jelajah sejarah lewat program Surabaya Urban Track (Subtrack).

Beberapa orang kemudian me-mention di akun saya. Rata-rata memberikan apresiasi positif. Mereka juga menanyakan kelanjutan cerita-cerita dan perkembangan dari kawasan bersejarah itu. Kawasan yang dikenal dengan situs kebangsaan.

Rabu (4/1/2022) sekira jam 19.00, saya menghadiri acara yang digelar Perkumpulan Begandring Surabaya. Acara begandringan, istilah mereka untuk menyebut ngobrol sambil diskusi. Tempatnya di Lodji Besar, Jalan Makam Peneleh 46, Surabaya.  

Seperti biasa, saya tak pernah melihat tema diskusinya. Karena kalau sudah ketemu para pegiat sejarah, obrolannya pasti seru. Semua masalah kadang dibahas. Bukan cuma masalah-masalah sosial budaya, ekonomi, olahraga bahkan politik. Dari yang tipis-tipis, sampai yang nyerempet-nyerempet, hehe...

Namun ada satu yang memantik perhatian saya. Jika begandringan itu juga mengundang para pejabat Pemerintah Kota Surabaya. Jumlahnya 6-7 orang. Belakangan saya tahu, kalau begandringan itu membahas konsep wisata Peneleh!

Bagi saya, ini sungguh tidak biasa. Makanya, jadi muncul pertanyaan, apakah para pejabat Pemerintah Kota Surabaya itu mau menghadiri undangan komunitas sejarah? Terlebih acaranya digelar malam hari. 

Iseng-iseng saya tanya sama Nanang Purwono. Dia ketua Perkumpulan Begandring Soerabaia. Teman sesama jurnalis yang pernah bergabung di Jawa Pos Group. Berapa pejabat yang sudah konfirm datang? Dia bilang kalau sudah lima orang pejabat Pemerintah Kota Surabaya datang. Ditambah lagi ada unsur dari legislatif.

Ah, saya membatin, konfirmasi itu agaknya belum final. Karena dibilang kalau para pejabat menjawab via WA, setelah mendapat kiriman undangan. Kata "siyap" atau "Insya Allah" bagi saya belum meyakinkan. Sangat lazim disampaikan siapa saja apabila mendapat undangan.

Beberapa foto suasana di Lodji Besar disebar via WAG dan medsos. Di kafe itu kursi dan meja ditata rapi. Ditata berhadap-hadapan. Mirip rapat komisi di dewan. Proyektor juga dipasang. Juga makanan ringan dan minuman yang siap dihidangkan.

"Iki rapat temenan, rek. Gak main-main. Panganane wes tak toto. Wes ndang merene. (Ini rapat sungguhan, rek. Tidak main-main. Makanannya sudah ditata. Sudah segera ke sini, red)," begitu ajakan berseliweran dari WAG.  

Kuncarsono Prasetyo menjelaskan soal konsep wisata Peneleh Heritage. foto: achmad zaki
Kuncarsono Prasetyo menjelaskan soal konsep wisata Peneleh Heritage. foto: achmad zaki

***

Saya datang sekira 15 menit setelah acara dimulai. Perjalanan dari rumah ke Lodji Besar tak kelewat lama, butuh waktu sepuluh menitan. Jalanan sama sekali tak padat. Gerimis ringan mengiringi sepanjang perjalanan. Ditambah angin malam yang berasa menusuk balung.

Tiga puluh meter dekat Lodji Besar, saya menyaksikan deretan mobil dinas berplat merah terpakir rapi. Berjejer memanjang di depan Makam Belanda Peneleh. Tepat di depan kafe itu, terlihat puluhan motor menumpuk.

Rasa penasaran saya terjawab. Di Lodji Besar hadir beberapa pejabat Pemerintah Kota Surabaya. Para pejabat senior yang memang saya kenal. Mereka menduduki jabatan strategis yang menentukan arah dan kebijakan Kota Surabaya.

Saking antusiasnya, di antara kami sempat guyonan kalau masalah Peneleh memang urgen dan mendesak. Sampai-sampai "rapat dinas" pun dipindah ke Lodji Besar.

Mereka yang hadir, Irvan Widyanto. Dia menjabat Asisten II. Pejabat yang berpengalaman. Irvan dulu dikenal "Anak Emas" Tri Rismaharini saat menjadi wali kota, selain Eri Cahyadi yang sekarang menjabat wali kota Surabaya.

A. Hermas Thony, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya. Politisi Partai Gerindra. Dikenal sebagai anggota dewan yang nyentrik dan sering terlihat cangkrukan di warung kopi. Thony adalah politisi senior, dua periode menjabat sebagai anggota legislatif. 

Yusuf Masruh, Kepala Dinas Pendidikan. Pejabat senior yang sudah malang melintang menduduki jabatan di Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Sangat berpengalaman di dunia pendidikan. 

Musdiq Ali Suhudi, Kepala Badan Pendapatan Daerah. Dia sejatinya ahli planologi. Memiliki kompetensi merancang wilayah dan perkotaan. Cukup lama menjabat kepala dinas Lingkungan Hidup.

Dua pejabat lain kurang saya kenal, usianya di bawah saya. Mereka adalah M. Aris Hilmi (Camat Genteng) dan Skundario Kristianindraputra (Lurah Peneleh).

Satu lagi dari kalangan akademisi. Namanya Prof. Purnawan Basundoro, dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair. Sekarang menjabat ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur.

Diskusi berlangsung gayeng. Dari slide-slide yang ditampilkan tim Begandring, tergambar bukti-bukti otentik dari masa ke masa.F oto, data, dan narasi tentang kawasan Peneleh. Mereka mendorong betapa sangat penting menjaga dan merawat kawasan ini.

Juga konsep Pengembangan Kawasan berbasis komunitas. Di mana, perlu adanya pelibatan partisipasi masyarakat dalam menjalankan konsep pengembangan Peneleh.

Potensi Peneleh menjadi tempat wisata sangat besar. Begandring sudah menangkap peluang itu, salah satunya melalui program Subtrack yang penjualan kuotanya selalu sold out.

Paparan kedua konsep pengembangan wisata kawasan Peneleh yang disampaikan tim Begandring memang saling melengkapi. Yakni, dari aspek fisik dan nonfisik. Hingga mendapat apreasiasi positif dari Irvan Widyanto.

 "Saya kaget datang ke sini, wong kapan hari ngobrol-ngobrol soal pengembangan kawasan Peneleh, eh sekarang ini sudah jadi konsepnya. Kalau saya bilang ini sudah bentuk kajian, tinggal diimplementasikan. Salut untuk Begandring," ucap Irvan, lalu disambut applaus semua peserta begandringan.

Irvan memastikan, mengawali kerja kolaboratif dan partisipatif ini, pihaknya akan melakukan kerja bakti massal bersih-bersih Makam Belanda Peneleh, Minggu (8/1/2023) pagi. Makam Belanda Peneleh yang selama ini menjadi jujugan wisata di kawasan Peneleh.

Irvan juga berjanji mengundang pihak-pihak terkait lainnya. Di antaranya dari Bappeko, Dinas Cipta Karya, Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Arsip dan Perpustakaan.

 

Para peserta begandringan di Lodji Besar. foto: dedi angga
Para peserta begandringan di Lodji Besar. foto: dedi angga

***

Antara optimisme dan pesimisme. Itulah yang saya rasakan ketika merespons upaya Pemerintah Kota Surabaya bakal menghidupkan kawasan Peneleh sebagai  kawasan wisata.

Kenapa? Karena pengembangan kawasan Peneleh sebagai wisata heritage ini sudah lama diupayakan Pemerintah Kota Surabaya. Kala itu, Wali Kota Eri Cahyadi masih menjabat kepala Bappeko.  Bahkan, konsep revitalisasi Peneleh itu sudah dipublikasikan.

Namun hingga sekarang hal itu tak terwujud. Makam Belanda Peneleh itu tetap tak terawat. Lingkungan di sekitarnya masih kumuh. Pernah sekali ada perbaikan, namun hasilnya malah blunder.

Kuncarsono Prasetyo, inisiator Begandring, mengungkapkan, Pemerintah Kota Surabaya pernah melakukan gerakan revitalisasi Makam Peneleh. Namun yang terjadi sesungguhnya hanya kerja bakti. Komsepnya tidak jelas.

Dalam kegiatan itu, Kucarsono menyampaikan protes keras. Karena sejumlah artefak sengaja dihilangkan, sebagian dibikin tidak berfungsi. Struktur atap makam-makam bersejarah yang diresmikan pada 1 Desember 1847 itu malah dibongkar.

"Sebanyak 21 atap cungkup kompleks pemakaman itu raib dari tempat asalnya. Puluhan artefak-artefak kuno itu sengaja dibongkar tanpa alasan kesejarahan yang jelas," terang Kuncarsono.

Tak hanya itu, pagar raksasa dari besi di gerbang utama juga sengaja dilepas. Dia tidak bisa beroperasi karena rel 'kupu tarung' kuno di bawah pagar sengaja ditimpa pavingstone. Pagar ini dibuat tidak berfungsi.

Kata Kuncarsono, hilangnya puluhan struktur atap atau cungkup alias kijing yang menaungi hampir setiap makam di sini cukup serius. Sebab inilah ciri kas utama makam Belanda terluas di Indonesia. Struktur bangunan makam-makam plus cungkup ini sejak lama menjadi laboratorium sejarah desain di Indonesia.

"Artefak ini memotret 'perkawinan' kultur Eropa dan Jawa dalam sejarah seni desain dan arsitektur. Menjadi bukti kebudayaan 'gado-gado' bernama kultur Indisch yang berkembang jaman kolonial pertengahan hingga awal tahun 1900-an," jlentreh Kuncarsono.

Untuk diketahui, makam-makam Eropa berkijing ini menjadi satu-satunya yang tersisa di Indonesia.

"Saya sempat menghubungi salah satu kepala dinas di pemkot untuk melayangkan protes. Namun ya tidak direspons sampai proyek ini selesai," timpal dia geram.

Kini, agenda revitalisasi itu bakal dimulai kembali. Dimulai dari kerja bakti lagi di Makam Belanda Peneleh. Hanya saja sekarang tim Begandring sudah menyodorkan revitalisasinya.

Sampai sekarang saya belum melihat kesuksesan Pemerintah Kota Surabaya mampu menghidupkan kawasan-kawasan bersejarah menjadi ikon kota yang membanggakan.

Jika menyebutkan Tunjungan, saya melihat justru peran masyarakat yang lebih besar dalam menghidupkan kawasan itu. Tunjungan Romansa yang dilaunching Pemerintah Kota Surabaya jauh setelah adanya para pelaku bisnis food and beveregas (F&B) di sana.

Para pelaku bisnis F&B menyewa toko-toko di Tunjungan yang sudah lama tidak beroperasi. Mereka kemudian menyulap toko-toko itu menjadi kafe dengan desain yang atraktif. Lamat tapi pasti, Tunjungan kemudian menjamur bisnis serupa dengan berbagai kemasan yang ciamik.

Kekhawatiran ini juga bisa berkaca dari Kya-Kya Kembang Jepun. Setelah tiga bulan beroperasi, destinasi kuliner itu tidak kelewat diminati masyarakat. Malah kecenderungannya makin layu. Beberapa pelaku usaha sudah tutup.

Peneleh bisa dibilang menjadi ujian selanjutnya. Mampukah Pemerintah Kota Surabaya menyulap kawasan tua ini menjadi ikon wisata heritage? Kita lihat saja nanti. (agus wahyudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun