Saya memang berniat datang di Balai Pemuda Surabaya, Minggu sore (11/22/2022). Selepas salat Ashar. Saya berhasrat mengunjungi pameran foto Parade Event Soera Ing Baja. Yang digelar di Basement Balai Pemuda.
Pameran foto tersebut berlangsung dua pekan, 4-18 Desember 2022. Event ini sejatinya merupakan rangkaian acara Road to Gala Premiere Soera Ing Baja: Gemuruh Revolusi '45, sebuah film dokudrama yang dijadwalkan tayang Desember ini.
Film tersebut diproduksi secara kolaboratif oleh Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, serta Pariwisata (DKKOP) Surabaya, TVRI Jatim, Perkumpulan Begandring Soerabaia, FIB Unair. Juga didukung beberapa komunitas reenactor dari berbagai kota yang tergabung dalam Reenactor Jawa Timur.
Keinginan hadir di pameran foto tersebut sejatinya juga karena setengah "terprovokasi". Gara-gara gencarnya promosi yang dilakukan penyelenggara pameran. Baik di media mainstream maupun di medsos.
Di mana, penyelenggara mengklaim pameran foto model ini baru pertama kali diadakan di Surabaya. Yang menyajikan dokumentasi seluruh proses pembuatan film. Mulai dari foto-foto lama yang menjadi dasar bagi posisi dan komposisi pengambilan gambar, properti yang digunakan (kostum, replika senjata, arsip-arsip), juga koleksi senjata asli.
Ada 90 foto yang dipamerkan. Foto-foto yang dipamerkan dari karya tiga fotografer, yakni karya Andreas Arisotya, Hengky Khresno Purwoko, dan Hito Susatyo.
Masing-masing terdiri dari foto-foto asli pertempuran 10 November 1945, dokumentasi proses reka ulang selama proses produksi film di kurun waktu September-November 2022.
Juga ada arsip-arsip penting lain, seperti Surat Penetapan 10 November 1945 sebagai Hari Raya Pahlawan oleh Pemerintah RI, Naskah Asli Pidato Soekarno saat Peresmian Tugu Pahlawan pada 10 November 1952, dokumen Resolusi Jihad yang dikeluarkan Nahdlatul Ulama, dan lainnya.
Perjalanan dari rumah ke Balai Pemuda hanya butuh 15 menit. Karena  jalanan di Kota Pahlawan pada hari Minggu memang lebih lengang. Lancar-lancar saja.
Saya cukup kaget saat mendekati pintu masuk Balai Pemuda. Deretan mobil meluber memadati Jalan Gubernur Suryo dan Jalan Yos Sudarso. Balai Pemuda lokasinya bersebelahan dengan Gedung DPRD Kota Surabaya.
Di depan Balai Pemuda selain disesaki oleh kendaraan-kendaraan pribadi juga ada ambulans, mobil operasional Satpol PP dan mobil patroli polisi.
Pintu masuk parkir Balai Pemuda ditutup. Karena sudah memenuhi kapasitas kendaraan yang parkir. Para pengunjung diarahkan parkir ke Gedung DPRD Kota Surabaya atau Hotel Garden Palace.
***
Ratusan bahkan mungkin ribuan anak muda, usianya saya taksir rata-rata di bawah 25 Â tahun, berjubel di kompleks Balai Pemuda. Mereka memakai kostum warna-warni. Rambut di cat dan ditata bak film-film animasi. Yang banyak kostum ala anime Jepang.
Saya melihat hilir mudik mereka. Di semua sudut di gedung yang dibangun tahun 1907 di masa masa kolonial Hindia-Belanda tersebut. Respons saya hampir sama dengan orang lain yang datang di Balai Pemuda tapi bukan untuk menyaksikan pesta cosplay.Ya kaget, melongo, senyum-senyum sendiri.
Para pendukung pesta cosplay itu tak pernah menolak difoto maupun diajak berfoto bersama. Siapa pun yang meminta. Mereka akan melayani dengan ramah.Â
Saat difoto, gaya mereka cukup eksentrik. Tak ada rasa canggung. Bahkan, banyak kendaraan yang berhenti hanya untuk lihat penampilan mereka.
Saya juga heran, acara pesta cosplay itu sebelumnya tidak terlihat promosinya. Terutama di media-media mainstream. Di koran maupun di portal-portal berita.
Rupanya menggunakan medsos untuk memviralkan acara itu. Lewat IG, Facebook, Tiktok, dan WA. Info dan pesan saling di-share tanpa harus diimbau atau diinstruksikan.
Naluri jurnalis saya tergerak. Saya mencari informasi. Event macam apa yang digelar di Balai Pemuda. Â Belakangan saya tahu event ini diberi tema Chochodays.Â
Event-event seperti ini sejak dua tahun lalu vakum. Penyebabnya karena pandemi covid-19. Balai Pemuda harus steril dari pengunjung. Hingga dibuka  kembali dengan menerapkan protokol kesehatan ketat, kemudian setengah ketat, dan sekarang sudah sangat longgar.
Di Chochodays ada pertunjukan teatrikal cosplay kabaret. Lokasinya di Gedung Utama Balai Pemuda, gedung yang kerap dijadikan pertunjukan seni dan budaya. Saat itu, di depan Gedung Utama di-setting bak menonton konser. Di depannya dipasang barikade sebagai jalur masuk penonton.
Keterangan yang dirilis panitia, pertunjukan kabaret ini mengangkat cerita serial Demon Slayer/Kimetsu no Yaiba. Ada 30 orang cosplayer untuk memerankan karakter Demon Slayer.
Demon Slayer, kabarnya, merupakan salah satu serial paling populer sampai saat ini. Film animasi Demon Slayer: Mugen Train yang ditayangkan pada 2020 lalu, resmi menduduki posisi pertama sebagai film terlaris di Jepang, menggeser posisi film dari Studio Ghibli, Spirited Away.
Untuk melihat teatrikal itu tiketnya Rp 40K per orang. Saya penasaran ingin menonton sekaligus  melihat keriuhan dan kemeriahan acaranya. Karena yang saya dengar dari luar hanya suara musik yang bergema keras. Â
Namun, saya kok "keder" sendiri. Karena saya tak memakai kostum yang unik seperti mereka. Saya hanya memakai kaus Persebaya Official Merchandise, bertuliskan "Wani."
Saya tentu khawatir jika para cosplayer bakal pasang mata sembari membantin, "Lho, iki kok ada bonek kesasar di pesta cosplay?
***
Saya lagi-lagi tersenyum sendiri. Kali ini, saya naik ke food court yang bersebelahan dengan Balai Budaya. Lokasinya tepat di atas tempat parkir kendaraan.
Di food court tersebut ada beberapa gerai yang menjajakan makanan dan minuman. Gerai-gerai tersebut diisi oleh pelaku usaha miko kecil dan menengah (UMKM). Mereka berdagang bergantian. Aplusannya tiga minggu sekali.
Tidak ada tempat duduk di food court. Kursi sudah full ditempati para cosplayer. Saya terpaksa duduk seadanya. Di batas bangunan tanaman yang disemen.
Para cosplayer bercengkerama. Mereka bertemu kawan lama, namun juga ada yang baru kenal dan bertatap muka setelah berkenalan di medsos. Saking ramainya, makanan dan minuman di food court pun laris manis.
Para pelaku UMKM, yang sebagian saya kenal, mengaku surpise. Mereka mengaku penjualannya meroket drastis. Sejak siang, stannya sudah diserbu pembeli.
Para pelaku UMKM sendiri tidak tahu apa dan bagaimana acara pesta cosplay. Yang baru dia sadari jika makanan sudah habis dan sudah beberapa kali membeli es batu kristal. Juga uang-uang kertas yang terlihat makin penuh di dompet.
Matahari mulai beringsut ke barat. Sesaat, kumandang adzan magrib terdengar dari suara muadzin Masjid As Sakinah di kompleks Balai Pemuda.
Masjid yang telah direnovasi sejak saat Tri Rismaharini masih menjabat wali kota, 2019 itu juga dipadati para cosplayer. Dengan wajah-wajah yang basah usai berwudlu.
Pesta cosplay, bagi saya, adalah fenomena yang tak akan berlalu pada akhirnya. Seperti halnya semasih muda dulu saya juga ikut kegilaan dari fenomena demam breakdance. Memang tidak hilang, tapi tidak hits lagi.
Cosplay juga hampir sama. Dia digandrungi anak-anak muda masa kini. Bisa disebut budaya pop (pop culture). Yang disukai dan diimitasi banyak orang. Kecenderungannya tidak berkualitas tapi punya kekuatan masif dalam mempengaruhi masyarakat sehingga menjadi tren.
Budaya pop ini, sepanjang yang saya ikuti, punya kelemahan. Lantaran umumnya dibuat secara massal, biasanya hal-hal dalam budaya pop cendurung tidak berkualitas. Juga berkecenderungan seragam. Tidak punya akar yang kuat. Sehingga bakal mudah tergantikan oleh hal-hal baru yang terus bermunculan.
Karena tidak kelewat yakin bakal bertahan lama. Momen ini saya anggap sebagai hiburan di tengah kepenatan. Sekaligus melihat kegembiraan anak-anak manusia dengan aneka kostum para idolanya. Kegembiraan sekelebat, seperti halnya watak kesenangan duniawi. (agus wahyudi) Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H