Suatu ketika ada momen Bulan Bung Karno. Yang ditandai dengan tanggal lahir Bung Karno pada 6 Juni dan berakhir pada haul Bung Karno pada 21 Juni.
Di Surabaya, memaknai Bulan Bung Karno diisi dengan serangkaian kegiatan. Hal ini dilakukan untuk lebih memperkenalkan Bung Karno. Bail spirit, kiprah, dan tempat lahirnya.
Momen ini tidak disia-siakan para pegiat sejarah Begandring. Mereka menggelar diskusi terbuka. Menghadirkan Andreas Pereira (anggota DPR RI), Bambang DH (anggota DPR RI), dan Adi Sutarwijono ( ketua DPRD Kota Surabaya).
Salah satu rekomendasi diskusi adalah pentingnya menggelar Sekolah Kebangsaan. Rekom ini sangat mengena. Pemerintah Kota Surabaya akhirnya menyetujui menggelar Sekolah Kebangsaan itu. Rupanya, butuh "pressure" politik juga untuk mengeksekusi ide dan gagasan.
Selang sepekan, Sekolah Kebangsaan pun digelar Pemerintah Kota Surabaya. Semua pemateri dari Begandring Soerabaia. Ada tiga lokasi yang digunakan, yakni di Rumah Kelahiran Bung karni di Pandean, HOS Tjokroaminoto di Peneleh, dan Kantor Pos Kebon Rojo.
Sekolah Kebangsaan ini diikuti perwakilan sekolah-sekolah di Surabaya. Tiap acara digelar, ada ratusan siswa yang datang karena diwajibkan. Para pemateri diwajibkan memakai baju adat, yakni busana Cak Surabaya. Sedangkan untuk kru diwajibkan memakai baju pejuang. Â Â
Jauh sebelum Sekolah Kebangsaan digelar, pemakaian baju adat ini sudah disampaikan Begandring kepada Dinas Pendidikan Surabaya sebagai muatan lokal.
Intinya, bagaimana sekolah-sekolah mewajibkan siswanya memakai busana Cak dan Ning  pada hari tertentu. Semisal Hari Jumat atau Hari Sabtu.
Karena sejatinya, semakin banyak sekolah muatan muatan lokal, maka itulah yang menjadi target kurikulum Merdeka Belajar. Pun kurikulum muatan lokal bisa jadi kekhasan yang dimiliki masing-masing sekolah. (agus wahyudi)