Saya belum bisa move on mengenang Tragedi Kanjuruhan. Peristiwa memilukan yang sangat tak pantas terjadi di Indonesia. Di saat atmosfer sepak bola kita sedang menggeliat. Sedang on fire.Â
Ketika publik lagi gandrung-gandrungnya dengan prestasi Timnas di berbagai level usia. Yang berjuang meneguhkan martabat bangsa sebagai Macan Asia dengan kekuatan sepak bolanya.
Dari tragedi kemanusiaan itu, saya lantas teringat masa remaja. Ketika masih ikut menjadi anggota klub sepak bola. Sekira tahun 1985. Saya masih duduk di kelas satu SMP.
Kala itu, saya berharsat besar untuk bisa jadi pemain sepak bola. Targetnya, bisa bermain di Persebaya Surabaya. Klub yang menjadi idola dan kebanggaan sampai hari ini. Â Â
Saya kemudian bergabung dengan Indonesia Muda (IM). Klub legendaris yang telah melahirkan banyak pemain bertalenta. Jebolan klub ini banyak yang menjadi pemain Timnas. Sebut saja Yusuf Ekodono, Bejo Sugiantoro, dan Anang Makruf.Â
Klub IM tidak hanya di Surabaya. Beberapa daerah lain juga ada. Model pembinaan yang dilakukan IM ini sejatinya akan diadopsi oleh Hizbul Wathan FC, klub sepak bola milik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Â Â
Masa itu, saya berlatih di Lapangan PJKA di Jalan Mendut, Surabaya. Lapangannya tidak kelewat bagus. Bisa dibilang tak terawat. Rumputnya menguning. Di sekeliling lapangan ditutup dengan pagar seng.
Bila hujan, Lapangan PJKA itu selalu tergenang air. Berlumpur. Meski becek, kami tetap memakainya untuk latihan rutin. Kadang, kalau gak bawa kostum cadangan, saya biasa pulang dengan kostum basah berlumur lumpur.
IM menjadi klub amatir anggota Persebaya. Tiap kompetisi, IM selalu ikut. Posisinya kerap nangkring di papan atas. Bahkan beberapa kali sempat menjadi juara.
Seleksi pemain-pemain Persebaya diambil dari talenta-talenda di klub-klub anggotanya. Itu sebabnya, sampai sekarang Persebaya tak pernah kekurangan stok pemain muda.