Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Soekarno, Glorifikasi, dan Film Dokumenter

14 Agustus 2022   12:35 Diperbarui: 27 Oktober 2022   13:45 2304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses pembuatan film Soekarno di Lodji Besar. foto: diskominfo soerabaia

Di kalangan sineas dan kritikus film, sensasi menikmati film dokumenter sangat berbeda dengan film dari kisah nyata yang diperankan oleh bintang film.

"Film dari kisah nyata sudah melalui berbagai tahap manipulasi. Mulai dari pemeran hingga jalan cerita. Di film dokumenter tdak boleh ada kebohongan sedikit pun. Penonton menjadi hakimnya," demikian sebut Orlow Seunke, sineas terkemuka asal Belanda.

Kata dia, film dokumenter sama pentingnya dengan jurnalisme lantaran memakai hati nurani dalam menggarapnya. Baik film dokumenter dan jurnalisme memiliki kemampuan mengubah situasi menjadi lebih baik. Mereka sama-sama melakukan investigasi dan kritik.  

Proses pembuatan film Soekarno di Lodji Besar. foto: diskominfo soerabaia
Proses pembuatan film Soekarno di Lodji Besar. foto: diskominfo soerabaia
                                                                                                                                 ***

Kehadiran Film Koesno, Jati Diri Soekarno tentu layak diapresiasi. Karena selain menjadi identitas bangsa, film ini juga dikerjakan secara kolaboratif. Ada peran media massa, pemangku kebijakan, dan pelibatan masyarakat yang diwakili para pegiat sejarah dan budaya.

Lokasi yang dipakai syuting film sebagian besar diambil di kawasan Peneleh. Lokasi ini dikenal menjadi situs kebangsaan. Di mana terdapat sejumlah objek sejarah, di antaranya rumah lahir Bung Karno, rumah HOS Tjokroaminoto, Jembatan Peneleh, Masjid Jami, dan lain sebagainya. Juga di Lodji Besar, rumah kuno warisan zaman Belanda yang terletak di depan Makam Belanda Peneleh.    

Di film dokumenter ini, tak satu pun pemerannya punya latar belakang seni peran. Mereka yang terlibat adalah orang-orang yang memiliki concern dengan pengembangan sejarah dan budaya. Mereka punya spirit yang sama: mencintai kotanya dengan sepenuh jiwa.

Untuk itu, rasanya tak berlebihan kalau pemangku kebijakan, dalam hal ini Pemerintah Kota Surabaya, bisa terus merawat kearifan lokal ini. Tidak ada yang salah dengan orientasi pemerintah memberdayakan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), program padat karya, dan seterusnya. Sama sekali tak ada yang salah.

Namun, yang harus diingat, kota ini juga butuh saluran ruang yang lebih lempang untuk lahirnya kreativitas dan inovasi dari masyarakat. Ruang berekspresi yang mampu melayani kebutuhan fisik, mental, sekaligus memberikan pengetahuan. Juga sebagai simpul dan sarana komunikasi pengikat sosial untuk menciptakan interaksi antarkelompok masyarakat.

Kita sungguh berharap, setelah film Film Koesno, Jati Diri Soekarno, akan muncul karya-karya baru. Yang lebih progresif dan berkemajuan. Yang bisa melibatkan lebih banyak kreator, khususnya anak-anak muda. Seperti harapan Soekarno yang meyakini kekuatan kaum muda bisa membuat horeg dunia. (agus wahyudi)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun