"Salah satu persyaratan untuk bisa jadi santrinya adalah kalau sudah lulus harus bersedia dibaiat. Sanggup menjadi mubaligh dan harus sudah bekerja. Ini berarti Mas Mansur tak memberi kesempatan kepada yang ingin belajar saja," jelas pria ramah ini.
Mas Mansur mengirimkan murid-murid Madrasah Mufidah yang sudah lulus ke pelosok-pelosok Jawa Timur, bahkan sampai ke Bali, sebagai mubaligh. Di ataranya, Mas Abdul Muis, adik Mas Mansur yang waktu itu masih berusia 18 tahun dan belum tamat, dia dikirim ke Kalianget, Madura.
Kemudian Abdul Kadir (17 tahun) dikirim ke Sumenep dan menikah dengan muridnya yang berasal dari Keraton Sumenep, Anwar Ahmad (20 tahun) ke Bali, Marzuki Ilyas (18 tahun) ke Mojosari dan lain-lainnya.
Menurut Andi, pada masa itu kepengurusan Madrasah Mufidah belum terstruktur. Mas Mansur menjadi kepala sekolah madrasah dibantu beberapa guru.
"Dalam sejarahnya, Madrasah Mufidah pernah vakum saat pendudukan Jepang, dan dibuka kembali pada 1 Maret 1947 hingga sekarang. Pengelolaannya tidak lagi oleh keluarga Mas Mansur, tapi Yayasan KH Mas Mansur," beber Andi. (agus wahyudi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H