Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Tak Ada yang Ideal, Maka Beradaptasilah!

22 Mei 2021   05:03 Diperbarui: 22 Mei 2021   08:31 1147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada yang ideal. Apalagi sempurna. Karena itulah keniscayaan dunia. Makanya, yang kita membutuhkan sikap adaptif. Mampu menyesuaikan diri. Mencari persamaan, mempersempit perbedaan. Punya visi menghasilkan produk dan karya terbaik.

Prinsip tersebut pada akhirnya saya pahami dalam bekerja. Di mana saya berada di lingkungan kerja toksik. Saya harus membiasakan diri menerima perubahan. Tak terkecuali menyelaraskan dengan target dan capaian perusahaan yang berkelanjutan dengan lingkungan kerja.

Hal itu saya wujudkan secara fisik maupun aktivitas. Yang pada ujungnya bertujuan meningkatkan performa perusahaan. Kinerja perusahaan menjadi baik dan seterusnya.

Sejak 1998, saya mulai bekerja di perusahaan koran. Pekerjaan yang sangat menyita waktu. Tidak ada jam kantor. Bila ada kejadian, kapan pun dan di mana pun, harus ditunaikan.

Sebagai jurnalis, saya juga harus mengejar deadline. Tak salah bila saat bekerja kita punya "jam sombong". Waktu di mana kita membutuhkan konsentrasi penuh dan tidak bisa diganggu lantaran harus menyelesaikan pekerjaan.

Tugas yang diberikan sebisanya tidak boleh mbeleset. Saya harus well informed (banyak tahu) tentang situasi mutakhir. Melakukan cek dan recek terhadap setiap kejadian.

Kecepatan dan akurasi juga sangat dibutuhkan. Meski hal itu tidak boleh mengurangi kualitas dari produk jurnalistik yang dihasilkan. Tegasnya, kecepatan tetap butuh kehati-hatian. Sebab kalau tidak berhati-hati, kecepatan itu akan berbalik menjadi bumerang.

Begitu pula dengan eksklusivitas. Hal ini terkait dengan persaingan yang ketat. Punya berita eksklusif itu yang paling dicari jurnalis. Bisa memberi nilai tambah. Akan tetapi, eksklusivitas tidak boleh mengabaikan rambu-rambu dalam pemberitaan.

Saya merasakan lingkungan yang sangat berbeda ketika bergabung di BUMN. Bekerja dengan mereka yang sangat birokratis. Punya jam kerja teratur yang harus dipenuhi.

Keputusan juga tidak bisa dilakukan secara cepat. Harus dikonsultasikan. Butuh approval (persetujuan) dari pimpinan yang lebih tinggi. Ada kewenangan yang hirarki secara vertikal.

Tidak membuka kebebasan berpendapat yang luas. Karena mayoritas dalam perusahaan memiliki kesepakatan yang menurut aturan dibenarkan. Simpelnya, kebenaran dalam perusahaan hanya berupa kebenaran menurut aturan yang berlaku.

Meski tak terbilang lama, pengalaman bekerja di BUMN itu menjadi pelajaran dan memberi pengalaman berharga.

Hingga kemudian saya bekerja di perusahaan swasta. Yang membuka peluang berkreativitas seluas-luasnya. Bisa terlibat dalam urusan pengembangan perusahaan lebih luas.

Di perusahaan swasta saya juga merasa diberi keleluasaan untuk mengembangkan diri. Kesempatan untuk menambah ilmu pengetahuan juga makin bertambah.

Ukuran kemampuan juga tidak ditentukan oleh nilai ijazah, tapi ketrampilan dan potensi yang dimiliki. Karena itu, upaya meng-upgrade diri menjadi penting.

***

Ilustrasi foto: shutterstock.com 
Ilustrasi foto: shutterstock.com 

Sepanjang berkarir di tiga perusahaan, saya mendapat pengalaman berharga sekaligus pelajaran hidup. Jika di mana pun kita bekerja, pasti menemukan kondisi yang tidak mengenakkan. Bertemu dan bergaul dengan orang-orang yang tidak sevisi. Baik yang disampaikan secara terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi.

Ada beberapa karakter teman yang berada di lingkungan perusahaan. Mereka yang tidak mendukung, tidak memberikan kontribusi positif, bikin kesal, bikin stres, merusak kesehatan, dan membawa dampak buruk dalam hidup lainnya. Berikut tipe orang-orang tersebut:

1. Kaum Pengeluh yang Ogah Kerja Keras

Saya selalu mendapati adanya kaum pengeluh di setiap perusahaan. Mereka bekerja setengah hati. Merasa kurang dengan yang diterima di perusahaan tempatnya bekerja.

Paling besar yang dibicarakan urusan ekonomi. Masalah keluarga sering kali dipakai alasan. Soal anak sakit, biaya sekolah, bayar angsuran kendaraan, kredit rumah, dan masih banyak lagi.

Keluhan kerap diumbar ke sana- ke mari. Cari pembenar dan dukungan. Padahal, mengeluh tak mengubah apa pun. Yang mendengarkan pun jadi bosan. Bahkan menganggap dia sebagai teman yang membosankan.

Kaum pengeluh selalu sangat dekat dengan pemalas. Mereka selalu menghindari pekerjaan tambahan yang dibebankan dirinya. Padahal, pekerjaan tambahan sebagai jalan dia untuk naik kelas. Karena dia juga dituntut belajar lebih keras. Mengerti hal-hal baru dan lebih terampil.

2. Suka Mencari Kesalahan Teman

Saya sepakat dengan pendapat Eleanor Roosevelt, istri Presiden Amerika Serikat (AS) ke-32, Franklin Delano Roosevelt.

Dia bilang, "Small minds discuss people, average minds discuss events, great minds discuss ideas". (Pikiran kecil membicarakan orang, pikiran sedang membicarakan peristiwa, dan pikiran besar membicarakan gagasan.

Sebagai akibatnya, pikiran kecil akan menghasilkan gosip. Pikiran sedang akan menghasilkan pengetahuan. Sedang pikiran besar akan menghasilkan solusi.

Gampang sekali melihat tipe dan karakter orang seperti ini. Di depan terlihat baik dan bersahabat, tapi di belakang bersikap lain. Dan para "korban" yang sadar hanya bisa geleng-geleng kepala dan mengelus dada.

3. Pendengki yang Miskin Kreativitas

Pendengki selalu melihat keburukan teman. Sehebat dan sepintar apa pun, di mata dia pasti akan selalu buruk. Pendengki juta tak pernah ikhlas dengan capaian atau prestasi teman.

Pendengki paling getol memproduksi fitnah. Menyebar berita buruk terhadap orang yang tidak disukai. Bahkan kepada orang yang tak mampu membela diri.

Anda bisa perhatikan, para pendengki sejatinya ingin menutupi kekurangan. Mereka kebanyakan miskin kreativitas. Tidak mampu berbuat lebih untuk menghasilkan karya yang lebih batik.

Soal pendengki ini, Islam mengabarkan jelas sebagai sifat iblis. Karena itu, barang siapa di antara kita memiliki sifat dengki, maka sungguh kita telah memiliki salah satu sifat iblis.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, "Melepaskan dua ekor srigala lapar di kandang kambing tidak lebih besar bahayanya di bandingkan dengan seorang muslim yang rakus terhadap harta dan dengki terhadap agama. Sesungguhnya dengki itu memakan habis kebaikan, seperti api melalap habis kayu". (HR. At-Tirmidzi)

4. Berbicara Kasar dan Menyakitkan

Butuh kesabaran ekstra. Itulah yang saya rasakan kalau menghadapi orang yang suka bicara kasar. Kata orang Jawa, "Ngomong sak ngomong mesti ngelarakni ati." 

Biasanya, ketika tahu orang suka bicara kasar, saya mencoba melihat track record-nya. Latar belakang keluarga, lingkungan, dan orang-orang yang biasa bergaul dengannya.

Kadang mereka yang punya kebiasaan berbicara kasar itu lantaran mengalami tekanan pekerjaan. Punya masalah pribadi yang dipendam sendiri. Yang tak mampu dicurahkan kepada orang lain.

Dalam urusan teamwork, keberadaan orang yang suka bicara kasar ini bisa merusak. Skema dan pola yang akan dijalankan bisa berantakan di tengah jalan. (agus wahyudi)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun