Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Pilih Salat Id di Rumah Meski Berlaku Zona Kelurahan

13 Mei 2021   20:59 Diperbarui: 13 Mei 2021   21:09 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto:mindful.org

Ini merupakan tahun kedua. Melaksanakan Salat Id di rumah. Bareng istri dan kedua anak saya. Seperti Hari Raya Idul Fitri tahun lalu, kami memilih tidak melaksanakan Salat Id di masjid atau lapangan.

Tahun ini, di Surabaya sudah diperbolehkan mengelar salat Id. Pelaksanaan mengacu pada zonasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) skala mikro.

Gampangnya mengacu per kelurahan. Wilayah kelurahan berkategori zona kuning dan hijau, bisa menggelar Salat Id dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.

Sedangkan wilayah kelurahan zona oranye, Salat Id tidak boleh dilakukan. Warga wajib melaksanakan di rumah. Di Kota Pahlawan, ada dua kelurahan yang masih berstatus zona oranye.

Sementara, data di situs Satuan Tugas (Satgas) Covid-19, Kota Surabaya masuk dalam kategori zona oranye. Ini artinya jumlah kasus yang ada di Surabaya sudah relatif banyak. Dalam hal transmisi atau penularannya, zona risiko sedang ini dipastikan ada dan lebih luas dibandingkan di zona kuning.

Satu lagi yang saya cemaskan. Bagaimana aparat mengantisipasi pergerakan warga. Sebab, sangat tak menutup kemungkinan warga kelurahan itu zona oranye akan masuk ke kategori hijau atau kuning. Hal ini jelas menyulitkan dalam pengendalian dan pengawasan covid-19.

Soal tata cara Salat Id, saya membaca petunjuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan beberapa organisasi lain. Berapa kali takbir zawaid (takbir tambahan), surat yang dibaca setelah membaca ta'awudz, dan seterusnya.

Tidak bayak perbedaan sebenarnya. Juga tidak memberatkan. Karena Salat Id di rumah bisa tanpa khutbah jika tidak ada yang mampu. Pun bacaan surat setelah membaca Al Fatihah, bisa dilakukan semampunya. Membaca surat pendek Alquran yang dihapal.

Rakaat pertama, saya bertakbir sebanyak tujuh kali, kemudian membaca doa iftitah. Setelah itu membaca surat Al-Ghasyiyah (Hari Pembalasan). Setelah itu, rukuk, sujud, iktidal, duduk antara dua sujud, dan seterusnya hingga berdiri lagi seperti shalat biasa.

Sedangkan pada rakaat kedua saya bertakbir sebanyak lima kali. Saya membaca surat Al-A'la (Yang Paling Tinggi). Berikut rukuk, sujud, iktidal, duduk antara dua sujud, dan seterusnya hingga salam.

Dua surat yang saya baca pada Salat Id tersebut sama dengan yang saya pada pada Salat Id tahun lalu.

***

Usai salat, saya beserta istri dan kedua anak lelaki sungkem. Tradisi yang kami lakukan setiap Lebaran. Saya bangga dan haru melihat semua keluarga sehat walafiat. Masih bisa menikmati Lebaran di tengah masa pandemi yang tak kunjung berakhir.

Saking bahagianya, saya mencium kepala dan kedua pipi mereka. Hal serupa dirasakan istri saya. Matanya berair manakala kedua anaknya memohon maaf atas segala kesalahan yang diperbuat, baik sengaja maupun tidak.

Kebahagiaan juga saya rasakan saat membaca postingan Lebaran di media sosial (medsos). Bermaaf-maafan. Saling bersilaturrahim. Menyapa kawan seiring dalam kerinduan.

Foto-foto keluarga bertebaran dengan lambaian salam dan coretan ketulusan. Teaser, meme, vlog dengan pesan damai dan menyejukkan di hari nan fitri. Berharap ampunan atas semua kealpaan dan kekhilafan.

Pemandangan ini memang jauh dari sebelumnya. Apalagi di tahun politik. Banjir meme caci maki, olok-olok, menyebar kebencian, tuding-menuding, bahkan fitnah. Medsos jadi penuh warna murka.

Bahkan yang memprihatinkan, beda persepsi juga berbuah benci. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak kawan bertikai hebat gara-gara berbeda pendapat. Diskusi akademik berujung panas dengan saling 'menguliti' pribadi dan klaim dogma.

Di hari yang fitri, saya jadi teringat pesan yang dilontarkan kaum sufi: "Bahwa persaudaraan bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Persaudaraan adalah sesuatu yang harus Anda lahirkan. Anda tidak dapat memetik kecintaan bila menanam kebencian. Anda tidak akan memperoleh saudara bila bertindak sebagai musuh. Anda tidak akan memanen ketulusan dari orang lain bila memelihara kemunafikan."

Sudah selayaknya Lebaran jadi ajang introspeksi diri. Menginsyafi segala hal yang pernah kota lakukan. Tetaplah mawas diri dalam bertutur, bertindak, dan berperilaku.

Kuburlah dalam-dalam syak wasangka. Jauhkanlah kebencian dengan merajut silaturrahim. Meski berat, berila maaaf kepada semua orang yang pernah menyakiti dan menzalimi kita.

Semoga, Lebaran bisa membawa kita menjadi insan kamil, manusia paripurna dari wujud dan pengetahuannya. Wallahualam bissawab. (agus wahyudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun