Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Spirit Ramadan, Membangun Keluarga Tarbiyah

2 Mei 2021   21:29 Diperbarui: 8 Mei 2021   17:26 2336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Butuh kesabaran dan ketelatenan dalam mendidik anak-anak agar lebih tekun beribadah. Terlebih di bulan Ramadan. (Ilustrasi foto:wahdahmakassar.or.id)

Butuh kesabaran dan ketelatenan. Itulah yang saya rasakan ketika mendidik anak-anak agar lebih tekun beribadah. Terlebih di bulan Ramadan.

Bagi saya, menanamkan nilai-nilai ibadah di bulan Ramadan sangat penting. Banyak hikmah yang bisa dipetik. Pelajaran kehidupan dengan landasan tuntunan yang dicontohkan Rasulullah.

Sejak dulu, saya meyakini menentukan kesuksesan bukan ditentukan dari angka-angka di rapor sekolah. Kesuksesan bukan bersumber dari pendidikan di sekolah bergengsi.

Identitas dan kemampuan seseorang tidak dapat diukur berdasarkan nilai dalam ijazah. Ada ukuran-ukuran baru untuk menilai kemampuan seseorang. Salah satunya hasil karya mereka atau bahkan pengalaman seseorang dalam melakoni sebuah profesi

Untuk itu, bagi saya, anak-anak harus diarahkan sejak dini agar memiliki menjadi habit atau kebiasaan yang dapat menimbulkan sebuah value (nilai). Dari value ini dapat meningkatkan kualitas hidup.

Seperti referensi yang layak disimak ini: penelitian dari Thomas J. Stanley, Ph.D, penulis buku asal Amerika. Dia telah mendapat banyak penghargaan. Salah satu karya yang terkenal adalah buku Millionaire Mind.

Stanley meneliti, dari 100 faktor yang berpengaruh terhadap kesuksesan, IQ hanya berada di urutan ke 21, bersekolah di sekolah bergengsi di urutan ke 23, dan lulus dengan nilai terbaik atau hampir terbaik hanya ada di urutan ke 30.

Lantas, faktor pertama yang berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang? Stanley menuliskan kesepuluh faktor itu adalah:

1. Kejujuran (Integritas)

2. Kedisiplinan

3. Pergaulan (good interpersonal skill)

4. Dukungan dari pasangan hidup. Di balik sukses seorang suami/istri adanya dukungan keluarga (istri/suami beserta anak-anak) yang harmonis

5. Bekerja lebih keras dan cerdas dari yang lain (work smart and work hard)

6. Mencintai apa yang dikerjakan (work heart)

7. Kepemimpian yang baik dan kuat (good and strong leadership)

8. Memiliki semangat dan berkepribadian kompetitif

9. Pengelolaan kehidupan yang baik (good life management)

10. Kemampuan menjual gagasan dan produk (ability to sell idea and product)

Kembali ke penelitian Thomas J. Stanley, Ph.D yang menemukan bukti bahwa kejujuran ternyata menempati tempat teratas dalam menunjang kesuksesan seseorang.

Menempatkan kejujuran, sebagai aspek dari moralitas yang baik terbukti menjadi faktor penentu sukses tidaknya seseorang. Karena orang jujur akan mampu masuk atau diterima dengan mulus ke berbagai lini kehidupan.

***

Ilustrasi foto:rumahtarbiyah.com
Ilustrasi foto:rumahtarbiyah.com

Berikut beberapa hal yang menjadi perhatian saya dalam mendidik anak-anak di bulan Ramadan:  

1. Mengawali dengan Berdoa

Doa acap kali terabaikan dalam kehidupan. Banyak hal baik yang kita lakukan tidak diawali dengan doa. Karena doa membuka keberkahan. Melancarkan segala urusan.

Salah satu yang kerap terlupakan sebelum buka puasa, saya selalu mewajibkan anak-anak membaca doa terlebih dulu.

"Allahumma laka shumtu wabika amantu wa 'ala rizqika afthartu birahmatika yaa arhamar rahimin."

(Ya Allah, untukMu aku berpuasa, dan kepadaMu aku beriman, dengan rizkiMu aku berbuka, dengan rahmatMu, wahai zat yang Maha Penyayang)

Begitu pun dengan aktivitas lain yang selalu saya ingatkan untuk memulai dengan berdoa. Sebelum perjalanan ke luar rumah, belajar, sebelum dan sesudah tidur, makan sahur, dan masih banyak lagi.

2. Menjauhkan Ketergantungan pada Gadget

Masa kini, anak-anak sangat "ketergantungan" dengan gadget. Setiap saat mereka lebih konsen dengan gadget. Di maje makan, mereka biasa membuka gadget.

Sebelum dan sesudah salat, mereka juga kerap pegang gadget. Ketika melihat tu, saya ingatkan mereka segera meletakkan gadget-nya. Fokus berzikir dan berdoa.     

Saya perlu memberi alarm awal soal ini. Karena anak-anak berkecenderungan merasa nyaman dan tidak bersalah jika tidak diingatkan.

3. Berderma dan Perhatian pada Kaum Dhuafa

Menahan lapar dan dan dahaga dalam puasa Ramadan sangat besar nilainya. Perasaan dari keadaan itu harus mampu tercermin dalam kehidupan sehari-hari.

Lewat puasa, anak-anak ditunjukkan betapa berat menjadi orang tidak mampu memenuhi kebutuhan periuk nasinya. Orang-orang yang tidak beruntung dalam kehidupan. Kaum dhuafa yang butuh uluran tangan orang lain.  

Saya selalu katakan jika mereka pun sejatinya juga tak ingin memilih menjadi kaum tak beruntung. Kaum yang lemah. Tapi fakta yang pahit harus mereka terima.

Dari situ perasaan dan kesadaran untuk selalu bersyukur pada anak-anak tumbuh. Bersyukur tidak mengalami kekurangan dan memiliki ketercukupan.

Karena itu, saya mewajibkan mereka untuk selalu memerhatikan dan menghargai kaum papa.

Sebagai bentuk rasa syukur, setiap Ramadan saya membiasakan anak-anak mengirim takjil atau nasi bungkus ke masjid atau musala untuk dibagikan kepada orang-orang yang berpuasa.

Di luar bulan Ramadan, kebiasaan berderma tersebut juga kami lalukan. Yakni dengan mengirim nasi bungkus itu juga kami lakukan untuk petugas kebersihan, tukang becak, dan lainnya. 

4. Menegakkan Salat Malam 

Meningkatkan amalan di bulan Ramadan merupakan upaya yang harus terus menerus dilakukan. Seperti pada artikel saya sebelumnya, "Sahur on The Road di Malam Likuran", betapa Ramadan ini memberi kemuliaan bagi mereka yang bersungguh sungguh menjalankannya.

Saya selalu mengibaratkan seperti lari maraton, di mana saat mendekati finish, kita harus lari sprint. Mengerahkan segara kekuatan dan tenaga untuk mencapai garis akhir.

Memang bukan aktivitas yang mudah dilakukan. Bangun di malam hari, lalu menunaikan salat membutuhkan komitmen dan upaya keras. Namun jika hal ini dilakukan sebagai kebiasaan dan kebutuhan, saya meyakini hasilnya akan baik. 

Ketika belum masa pandemi covid-19, saya mengajak semua keluarga ke masjid untuk iktikaf di sepertiga bulan Ramadan. Membawa perlengkapan salat yang dibutuhkan.

Di masjid, mereka melakukan salat malam. Membaca Alquran, berdiam diri, merenung, dan menginsyafi apa yang sudah dilakukan dan keinginan yang belum terwujud. (agus wahyudi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun