"Jangan dekatkan lambungmu dengan kasur di sepertiga akhir Ramadan."
Begitu kata-kata nasihat yang tergiang bila Ramadan hampir memasuki sepuluh hari terakhir. Malam likuran, begitu banyak orang menyebutnya. Dalam hadis disebut itqun minan nar (terbebas dari api neraka).
Dalam tradisi keluarga, kami berupaya memanfaatkan malam likuran sebaik-baiknya. Sebagai sarana untuk menggenjot ibadah. Ibarat lari maraton, momen ini saatnya melakukan lari cepat (sprint).Â
Berupaya meraih pundi-pundi kebaikan yang dilipatgandakan. Karena sepuluh hari terakhir Ramadan sangat istimewa. Ada banyak keutamaan. Makanya Rasulullah selalu mengencangkan ibadahnya.
Aktivitas-aktivitas bernilai ibadah kami tingkatkan. Membaca Alquran bukan hanya saat tadarus malam, tapi juga selepas salat wajib. Biasanya yang hanya dua ain (tanda berakhirnya suatu surah pada atau ayat tertentu), ditambah menjadi 3-4 ain.
Salat Tarawih juga harus on time. Bahkan sebelum ada sudah berada di masjid. Membantu marbot, orang yang bertanggung jawab mengurus keperluan masjid. Mengepel lantai, membersihkan karpet, mencuci kain untuk batas shaf, dan lainnya.
Terkadang di malam likuran, saya tidak ikut salat witir saat tarawih. Karena salat witir saya lakukan pada saat iktikaf. Dengan menambah salat sunnah.
Satu lagi aktivitas yang saya rindukan:Â sahur on the road. Sahur bareng kaum dhuafa di jalanan. Saya punya banyak teman komunitas di Surabaya yang punya kegiatan sahur on the road ini.
Jadwal sahur on the road dimulai pukul 02.00 dinihari. Berkendara mengelilingi sudut-sudut kota. Bekal yang dibawa berupa nasi bungkus atau nasi kotak. Plus minuman air mineral dan kemasan.
***