Gagasan mewujudkan transportasi massal di sejumlah daerah kembali menyeruak. Penyediaan sarana tersebut dinilai sebagai solusi untuk memercepat pembangunan kota dan memenuhi kebutuhan dan keinginan warga. Â Â
Beberapa waktu lalu, tiga kepala daerah di Jawa Timur berembuk untuk membahas integrasi program di kawasan Surabaya Raya. Mereka, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, dan Bupati Gresik Fandi Akhmad Yani.
Salah satu poin penting yang dibicarakan dalam pertemuan tiga kepala daerah tersebut adalah terkait manajemen transportasi terpadu, manajemen sungai terpadu, serta pengembangan manajemen pengetahuan untuk meningkatkan kualitas inovasi antardaerah dan infrastruktur jalan.
Unung Istopo Hartanto, Data Mining Manager enciety Business Consult (eBC) menuturkan, ihwal mewujudkan agenda besar tersebut pantas diapreasi. Hanya, sepatutnya, para kepala daerah melihat dari kerangka berpikir strategis tentang kota.
Ada tiga hal yang menjadi catatan. Pertama, soal kemampuan kota dan stakeholder-nya memenuhi kebutuhan dan keinginan warga. Baik warga sebagai individu, keluarga, bisnis, industri, dan investasi.
Kedua, kapasitas dan kemampuan pemerintah sendiri dengan dukungan teknologi mampu menjalankan secara fungsional dan inovasi untuk melayani warga.
Ketiga, adanya output dan outcome yang diharapkan akan berpengaruh terhadap hubungan fungsional. Yang pada akhirnya memicu pertumbuhan ekonomi, peningkatan output ekonomi, Produk Domestik Regional Broto (PDRB), Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
"Di antara salah satu irisan antara kebutuhan warga dan kesiapan (feasibility) dari pemerintah daerah kita kenal istilah kolaborasi. Yang membutuhkan banyak hal. Pemerintah harus memahami yang dibutuhkan warganya. Seluruh aspek kehidupan (quality of life)," papar Unung.
Dia lalu membeberkan riset eBC tentang kepuasan warga kota Surabaya (Surabaya Citizen Satisfaction Index) yang dilakukan tracing lima tahun belakangan. Di mana, ekspektasi warga Kota Surabaya selalu meningkat. Yang mutakhir mencapai 91,2 persen. Hal ini jelas menjadi tantangan pemimpin baru agar bisa meneruskan kebaikan yang sudah dilakukan pemimpin sebelumnya.
Ada tiga hal, sebut Unung, yang masih perlu ditingkatkan. Di urutan pertama, terkait kemudahan mendapatkan pekerjaan dan kesempatan berusaha (77 persen). Urutan kedua, terkait murahnya biaya hidup sehari-hari (79 persen). Di posisi ketiga, terkait kondisi lalu lintas (81 persen).
"Tiga hal ini ini kejar-kejaran terus. Meski pun kondisi ini sudah meningkat signifikan dibanding lima tahun sebelumnya," tegas Unung.
Pilihan Moda Transportasi
Di Surabaya, penyediaan sarana transportasi umum (public transportation) dirasakan cukup lengkap. Surabaya memiliki satu bandara berstandar internasional, dua stasiun besar, dua terminal besar. Apalagi sekarang ada tol Surabaya-Jakarta.
Problem transportasi mencuat seiring banyaknya jumlah kendaraan. Lalu lintas pun menjadi padat. Hal ini kemudian membuat Pemerintah Kota Surabaya melakukan berbagai upaya mengatasinya dengan penambahan jalan baru. Seperti Middle East Ring Road (MERR) dan Frontage Road.
Menurut Unung Istopo, transportasi bukan hanya soal akses, tapi bagaimana masyarakat bisa menjangkau dari titik satu ke titik lain. Selain itu, apa yang yang bisa diakses masyarakat di sepanjang jalan yang dilewati Semisal di MERR, ada commercial zone, rumah sakit, sekolah, dan lain sebagainya.
"Indeks aksesibilitas bukan hanya seberapa cepat mencapai destinasi, tapi juga seberapa banyak kita bisa mengakses sesuatu," papar Unung.
Lalu, bagaimana dengan moda transportasi? Apakah menggunakan trem, monorel, atau lainnya?Â
Unung menyatakan jika pemerintah harus benar-benar memikirkan moda transportasi yang tepat. Pemerintah harus melihat Surabaya basisnya kampung. Bukan hanya melihat masalah sosial ekonomi, demografi, tapi juga titik jalan.
"Kampung ini menyatukan. Tidak banyak kota atau daerah yang memiliki kampung sekuat Surabaya. Saya merinding kalau lihat kekuatan atau keguyuban warga kampung di Surabaya," imbuh dia, seraya mengutip penilaian Johan Silas (pakar tata kota ITS) jika trem bisa menjadi alternatif untuk Surabaya.
Unung mengapresiasi keinginan tiga kepala daerah mewujudkan transportasi massal. Cuma, sarannya, hal itu jangan hanya memberikan manfaatkan kepada tiga daerah saja, tapi juga daerah-daerah lain di Jawa Timur
"Surabaya bukan seperti Jakarta. Menumpuk. Beban terkonsentasi di Surabaya. Harus memperlebar pengembangan kota. Seperti konsep lama kan ada namanya Gerbangkertasusila," jelas dia.
Kata Unung, Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo memiliki nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) cukup tinggi. Upah minimum kota/kabupaten (UMK) juga tinggi. Nilai strategisnya, dengan UMK tinggi ekspektasi pebisnis dan industri mendapat dukungan pemerintah, sehingga bisa memberikan output kepada karyawan dan outcome kepada perusahaan.
"Surabaya banyak memberikan subsidi, baik pendidikan dan kesehatan. Kalau ditotal dengan biaya hidup tentu menjadi turun. Makanya, banyak orang tinggal di Surabaya. Kalau Gresik dan Sidoarjo mau berkembang. Gresik dan Sidoarjo jadi kota industri, Surabaya kota perdagangan dan jasa," jlentreh Unung
Otomatisasi Transportasi
Pengembangan transportasi massal harus melihat dua hal, yakni pembangunan manusia dan infrastruktur. "Harus ada multiplier effect jika ada moda transportasi baru, seperti penyediaan titik parkir, pergantian, penyediaan modal lain karena termasuk intermoda," papar Unung Istopo.
Kata dia, ketika sebuah moda transpotasi dijalankan, semua harus jalan. Dicontohkan pengembangan tol Surabaya-Jakarta. Â Awal banyak yang mengkritik. Terkait pengurangan tenaga kerja seperti keberadaan penjaga tol ketika diganti dengan kartu tol. Padahal, ketika ada pembaruan model dengan teknologi, dibutuhkan banyak tenaga, semisal programmer, system maintenance hardware, analisis data, desainer, dan sebagainya.
Unung juga menyebut ada dua persepsi masyarakat melihat transportasi umum. Sisi negatifnya, transportasi umum dinilai kurang baik, waktu tunggu lama lama, tidak nyaman, takut tertular penyakit, dan lainnya. Sementara sisi positifnya, efisien, polusi turun, mengurangi pemakaian kendaraan pribadi, jalanan tidak macet, dan peluang bertemu orang baru.
Penyediaan moda transportasi umum butuh waktu panjang. Tidak bisa dilakukan 1-2 tahun. Karena itu, butuh kajian mendalam sebelum hal itu diwujudkan.
Unung mengatakan, selain model trem dan monorel, perlu juga dijajaki penggunaan transportasi sungai. Ini selaras dengan spirit mengembalikan kejayaan sungai. Wisata dari heritage satu ke heritage lain dengan menuangkan cerita. Pun taman kota, alun-alun, bangunan tua bisa dijadikan cerita.
"Dari riset, antusiasme masyarakat terhadap kebersihan dan keindahan kota selalu nomer satu pada lima tahun terakhir. Kita belum menemukan sungai panjang seperti di Surabaya. Hanya perlu dipastikan terkait debit air, barrier atau halangan yang dilewati," jelas Unung.
Satu lagi, imbuh Unung, yang perlu dijajaki, yakni transportasi berbasis teknologi. Seperti taksi robot atau bus robot. Menurut Unung, Â dengan digitalisasi sesuatunya akan lebih sustain, terkontrol, dan sebagainya.
Kata dia, digitalisasi di Surabaya lima tahun terakhir mengalami kenaikan signifikan. Hal itu tak lepas dari dukungan Pemerintah Kota Surabaya. Seperti dalam menggunakan e-procurement, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Online, dan lainnya.
"Digitalisasi di Surabaya sudah menjadi budaya dan sangat membantu kepentingan warga," tandasnya. (agus wahyudi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H