Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Membincang Pendidikan, Ini 7 Catatan Bapak Statistika Indonesia

4 Februari 2021   12:54 Diperbarui: 4 Februari 2021   18:13 1751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melewati bulan pertama di tahun 2021, saya merekam banyak hal tentang dunia pendidikan. Salah satu tokoh yang menjadi rujukan saya adalah Kresnayana Yahya. Dosen ITS yang mendapat julukan Bapak Statistika Indonesia. Saya banyak mendapat insight dari sosok yang satu ini.

Kresnayana sangat concern dengan perkembangan pendidikan di Tanah Air. Pria kelahiran Jakarta, 3 Agustus 1949 itu, bicaranya selalu lantang. Tanpa tedheng aling-aling. Mewakili karakter Arek Suroboyo yang egaliter, berani, dan punya solidaritas sosial yang tinggi.

Banyak ide dan gagasan orisinal lahir dari Kresnayana. Seperti saat terjadinya keriuhan soal rencana sekolah 8 jam. Dia menilai betapa pentingnya kebijakan itu. Pola kurikulum sekolah hanya menitikberatkan pembelajaran teori dalam kelas. Padahal, jika ingin efektif, harus disertai praktik langsung di luar kelas. Karena skill siswa dapat terasah dan lebih terarah.

Dia juga yakin sekolah 8 jam tersebut tidak mengurangi waktu anak untuk berinteraksi dengan keluarga. Justru sebaliknya, sekolah 8 jam membantu siswa berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Pun siswa bisa memanfaatkan waktu luang dan bermain.

Berikut tujuh catatan Kresnayana Yahya tentang pendidikan yang bisa saya rangkum dan menjadi renungan kita semua.

Pertama, dengan tidak diberlakukannya ujian nasional, guru tidak tidak lagi dituntut untuk membuat murid-muridnya lulus, melainkan memberikan kebebasan dalam mengajar. Terutama dalam memberikan pendidikan yang lebih berkarakter. Karena untuk mengukur keberhasilan guru tidak lagi diukur berdasarkan keberhasilan anak didiknya lulus ujian nasional.

Dengan pola pendidikan berkarakter berbasis kreativitas, para tenaga pendidik diharapkan dapat menghasilkan individu-individu yang tahan banting. Terutama untuk menghadapi sektor perekonomian yang saat ini sedang berkembang dan tidak dapat ditebak arahnya.

Kedua, diperkirakan 80 persen internet traffic dihabiskan untuk membuka konten video. Hal ini menyebabkan para murid menjadi bosan ketika melihat gurunya mengajar di depan kelas. Sentra pendidikan tidak lagi hanya berada dalam di dalam kelas.

Di sekolah, di dalam kelas anak-anak harusnya belajar bagaimana caranya belajar, learn how to learn. Bukan hanya materi yang diajarkan sebanyak-banyaknya, melainkan anak dirangsang untuk belajar dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Kalau semua materi diajarkan dalam kelas, ya jelas waktunya tidak cukup dan tidak efektif.

ilustrasi foto: idevelopcourses.com
ilustrasi foto: idevelopcourses.com

Ketiga, pendidikan tidak menyempit kepada sekolah atau lembaga pengajaran. Pendidikan tidak hanya belajar di kelas. Kini, untuk memperoleh ilmu dengan belajar tidak perlu lagi bertatap muka. Cukup dengan kecanggihan teknologi seperti gadget. 

Kita berada di era informasi sekali sentuh. Semua informasi bisa diakses secara digital. Kita tak harus berubah untuk mengikuti, tapi beradaptasi dengan mempelajarinya. Jangan berpandangan yang sempit terhadap keberadaan digital. Seperti pemakaian gadget yang membantu murid mempelajari ilmu pengetahuan.

Yang harus diimbangi adalah dari sisi user atau manusianya. Karena teknologi hanya sebagai jalan dan manusia yang harus memegang kendali. Kecanggihan teknologi tidak harus membuat seseorang jadi dan bertambah malas. Malah sebaliknya, harus lebih berkreasi dan bersemangat.

Di era digital yang diajarkan di sekolah hanya sebatas passive learning. Sedangkan untuk active learning harus di desain bersama dengan orang tua, guru dan lingkungan tumbuh kembang dari anak tersebut.

Keempat, pendidikan jangan diartikan hanya bagi anak-anak yang berseragam sekolah. Ini karena setiap manusia hidup harus belajar. Manfaatkan teknologi sebagai pembelajaran. Mobile learning di kalangan pendidik atau guru pengajar sangat atraktif dan bisa dipakai untuk mengajarkan ke siswanya. Di YouTube misalnya, banyak pangajaran yang bagus dan bisa diajarkan secara sederhana kepada anak-anak.

Multimedia dapat merangkum pendidikan dan sumber segala ilmu. Ada proses pendalaman pembelajaran agar para anak-anak dapat mengetahui pelajaran. Jadikan anak-anak untuk belajar dan hal tersebut membutuhkan suatu proses, dan ukuran keberhasilannya adalah tindakan yang benar. Apa pun bentuknya, multimedia yang dipakai seorang guru di kelas, ilmu yang diajarkan harus dapat dipahami oleh murid-muridnya.

Yang harus diingat, penggunaan teknologi harus diimbangi kesadaran individu itu sendiri. Jangan sampai sosialisasi kepada tetangga atau masyarakat akan hilang akibat lebih asyik main gadget atau terlalu silau dengan kecanggihan teknologi.

Kelima, banyak masyarakat memiliki persepsi keliru terkait pendidikan. Salah satunya terkait masalah kompetisi dan kompetensi. Banyak anak patah hati dan rusak hati akibat dibanding-bandingkan dengan kawannya, kakaknya, adiknya, dan orang-orang sekitarnya. Padahal, dalam konsep pendidikan tidak mengajarkan kompetisi. Itu pola pikir masyarakat yang masih terbilang primitif.

Anak tidak bisa lagi diarahkan untuk berpikir untuk jadi dokter, insinyur, akuntan, pegawai negeri dan lain sebagainya. Jangan menuntut anak untuk bisa mencapai cita-cita orang tua. Mereka ini punya cita-cita sendiri. Sesuai dengan zaman yang sekarang mereka lalui.

ilustrasi foto:safetrac.com.au
ilustrasi foto:safetrac.com.au

Keenam, siswa yang cerdas atau pandai tidak lagi dapat diukur dengan nilai yang didapat, melainkan karya kreatif atau prestasi yang dapat mereka capai. Karena kita sudah banyak dihadapkan pada kenyataan, jika siswa yang memiliki nilai tinggi belum tentu dapat sukses di kemudian hari

Sampai saat ini masih banyak orang tua yang menilai anak hanya dengan tingginya nilai ujian. Padahal, ukuran keberhasilan dari sebuah pendidikan itu bukan nilai ujian. Setiap anak punya multiple intelligences. Di mana setiap anak punya kelebihan masing-masing. Fungsi dari pendidikan ini membuat anak bisa memanfaatkan kelebihannya tersebut dengan maksimal.

Identitas dan kemampuan seseorang tidak dapat diukur berdasarkan nilai dalam ijazah. Kita telah diperlihatkan banyak dari orang-orang yang sukses bukan berdasarkan pada formalitas ijazah mereka.

Di masa depan, ada ukuran-ukuran baru untuk menilai kemampuan seseorang. Salah satunya hasil karya mereka atau bahkan pengalaman seseorang dalam melakoni sebuah profesi. Juga kemampuan berkolaborasi.

Ketujuh, pendidikan sangat dipengaruhi perkembangan dunia yang mengarah pada Society 5.0. Di mana masyarakat dalam era tersebut lebih bijak dan cerdas dalam memanfaatkan perkembangan teknologi.

Ke depan, dunia pendidikan harus berkembang. Sasarannya harus lebih luas. Karena pilihan lapangan kerja bagi masyarakat tidak hanya sebatas pegawai negeri dan pegawai swasta saja.

Di masa depan, ada lapangan pekerjaan yang dikenal dengan pegawai mandiri atau yang sekarang dikenal dengan nama pekerjaan kreatif.

Contohnya Atta Halilintar. Kreator Youtube. Sekolahnya homeschooling. Namun penghasilannya dalam sebulan setara dengan gaji Kepala Dinas Pendidikan selama bertahun-tahun. Dia dapat uang miliaran rupiah dari konten-konten yang dia buat. Subscribers-nya sudah jutaan di Youtube. Tertinggi se-Asia Tenggara.

Jangan membatasi cita-cita anak. Dulu banyak orang bekerja di dalam kantor. Namun belakangan, banyak orang yang mulai bekerja di dalam dunia digital.

Yang harus dilakukan orang tua saat ini adalah menyadarkan anak-anaknya, jika pekerjaan yang baik itu bukan bekerja untuk bos atau atasan di kantor. Pekerjaan yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan untuk kebaikan society. (agus wahyudi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun