Kami sempat berbincang dengan Ny Ng Giok Tjoe, pemilik usaha rujak cingur tersebut. Dia mengaku merintis sekitar tahun 1970-an. Ng Giok Tjoe dia sudah berumur di atas 85 tahun itu mengulek rujak sendiri.Â
Dia meracik bahannya karena harus memastikan kualitasnya. Hanya, untuk pengelolaan usaha, Ng Giok Tjoe sudah menyerahkan kepada salah seorang anaknya yang karib disapa Junifer.
***
Pesanan belum jadi, terlihat mobil Jaguar merapat di depan rumah tersebut. Seorang pria tinggi dan bertato datang. Sebelum duduk, dia sempat memesan enam bungkus rujak cingur. Berikut permintaan jumlah cabainya. Tak lama, mobil Alphard merapat. Dia juga pesan rujak untuk dibawa pulang.
Di meja kayu, kami bertiga menikmati rujak cingur. Dilihat porsinya sebenarnya tak beda jauh dengan rujak cingur Genteng Durasim dan rujak cingur Delta. Keduanya juga terkenal di Surabaya dan menjadi jujugan pecinta kuliner.
Seporsi rujak cingur Ahmad Jais untuk matengan (tanpa buah) berisi dari kangkung, toge, beberapa potong tempe goreng, irsian tahu goreng, dan cingur dengan bumbu yang melimpah di atasnya. Namun jika suka buah biasanya diberi irisan, mentimun, kedondong, mangga, bengkuang, dan belimbing.
Bagi saya, keistimewaan rujak cingur Ahmad Jais ini ada pada petisnya yang berasa lembut. Cingurnya istimewa, empuk, bersih, dan baunya tidak tercium sama sekali. Kacangnya renyah. Tempe goreng juga enak, ketika dimakan masih kriuk-kriuk karena digoreng dengan kering seperti keripik.
Kami lahap menikmati rujak cingur. Rasanya makin menggoyang lidah dengan tambahan krupuk di kaleng. Sesansinya bisa saya rasakan manakala menikmati sisa bumbu rujak yang dioles dengan kerupuk, hehee...
Saya dan juga dua sahabat saya bisa memahami jika rujak ini punya pembeli fanatik dan berkesan eksklusif. Dia tidak menjual sampai ratusan porsi rujak cingur dalam sehari. Bahan-bahannya juga fresh. Â Tak terkecuali racikan petisnya yang gurih dan tidak bau amis. Â Â Â
Penasaran? Rujak cingur Ahmad Jais ini buka pukul 10 pagi hingga 5 sore. Kalau hari Minggu bukanya pukul 11 siang. (agus wahyudi)