"Yu Painten keleleken jendelo, cekap semanten piatur kulo" Â Â
Parikan Kartolo itu sangat populer. Kalangan pecinta dan penikmat ludruk pasti hapal kidungan tersebut. Dulu, banyak radio swasta di Jawa Timur yang memutar Ludruk Kartolo Cs, selalu menempatkan kidungan tersebut sebagai penutup acara.
Kidungan Kartolo memang digandrungi banyak kalangan. Mulai dari para akademisi, praktisi dan pejabat. Tak terkecuali para seniman sendiri. Karya-karya Kartolo berhasil mencuri hati kaum lintas generasi. Tak berlebihan jika Kartolo kemudian dinobatkan sebagai Seniman Terbaik Jawa Timur 2005.
Budayawan Sindhunata juga terheran-heran ketika mempelajari kidungan Kartolo. Sebab dia tahu, banyak orang dari berbagai strata sosial menyukai lawakan Kartolo. Pengamatan dia, di perkampungan di Kota Malang, ada yang rajin mendengar kasetnya sambil bekerja. Mereka membuat sendiri sebuah tape sederhana beserta pengeras suaranya. Tak bosan-bisan mereka mendengarnya dari pagi hingga usai bekerja. Di Kota Batu, sais-sais dokar pun suka mendengar kaset Kartolo sambal terkantuk-kantuk menunggu penumpang.
Di mata Sindhunata, seperti seniman ludruk lainnya, Kartolo punya segudang pengalaman. Jelas dengan demikian, akar atau tanah lawakannya bukanlah kecukupan atau kegembiraan. Melainkan kekurangan, kepahitan atau kesedihan. Jika ditarik dalam humor akan menghasilkan efek komedi yang tragis. Komedi macam ini hanyalah ekspresi seni dari hidup rakyat yang susah dan berkekurangan sehari-harinya. Pantas bila seni Kartolo laris manis di kalangan mereka.
Emha Ainun Nadjib juga manaruh kekaguman serupa terhadap kesahajaan Kartolo. Cak Nun, begitu ia karb disapa, sempat menawari Kartolo bergabung dengan kelompoknya, Kiai Kanjeng. Namun tawaran itu tidak dikabulkan Kartolo. Kartolo tetap bertahan dengan grup lawakannya karena ada keterikatan batin.
Suatu sore, saya pernah menemui Kartolo di rumahnya di Jalan Kupang Krajan I/12-14, Surabaya. Ditemani istrinya, Ning Tini, Kartolo mengaku mensyukuri apa yang diterimanya sekarang. Â
Kartolo menghayati hidup ini sangat sederhana. "Manungso iku lemah. Sopo ae wonge, pangkat lan kedudukane masio mumbul koyok kapuk, wayahe tuwek mesti leren, mati, susah ninggal jeneng."Â (Manusia itu lemah. Siapa pun orangnya, pangkat dan kedudukannya, meski pun terbang seperti kapas, ketika tua pasti berhenti, mati, susah meninggalkan nama).
Bagi Kartolo, seniman itu bisa menjadi tuntunan dan tidak membuat masalah. Prinsipnya tidak ikut ke mana-mana. Kalau ada yang salah diingatkan, kalau tidak mau ya urusan masing-masing. "Sing penting gak nggurui lan ngelarakno ati wong liyo." (Yang penting tidak menggurui dan menyakitkan hati orang lain).
Meski sudah memiliki nama besar, Kartolo tak mau bersikap jemawa. Setap acara Agustusan di kampungnya, Kartolo dan Ning Tini rutin ikut tampil tanpa mau dibayar. Dia juga mengajak beberapa tetangganya ikut melawak.
Bagi saya, Kartolo masih yang terbaik di dunia ludruk. Khususnya versi Jawa Timuran. Dia peletak dasar ludruk modern, sekaligus pembaharu genre kesenian ini. Parikan-parikan yang sarat kritik sosial dan ungkapan jenaka, sering kali berupa improvisasi di atas panggung yang tercipta saat itu juga.  Â