Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kisah Legenda Timnas dan Tekel Horor

14 November 2020   13:45 Diperbarui: 2 Januari 2021   10:43 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulir-bulir keringat mengembun di dahi Hanafing. Kaosnya juga basah oleh keringat. Pagi itu, dia hadir di pemusatan latihan PS Hizbul Wathan (PSHW) di Lapangan Unesa Ketintang. Surabaya. Ada 28 pemain yang disiapkan untuk Kompetisi Liga 2.

Hanafing ditunjuk menjadi direktur teknik klub milik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur itu sejak September 2019. Di jajaran pelatih, ada Yusuf Ekodono (head coach), teman seangkatan Hanafing yang ikut membawa Timnas Indonesia meraih medali emas SEA Games 1991 di Manila Filipina. Lainnya, Yusman Mulyono dan Anas Yahya (keduanya eks Niac Mitra), Nugroho Mardiyanto (Eks Persebaya), dan Agam Haris (pelatih fisik).

Beberapa saat kemudian, Hanafing berada di tengah pemain. Yang berdiri membentuk setengah lingkaran. Suaranya terdengar lantang saat memaparkan banyak hal soal sepak bola. Salah duanya soal visi dan cara bermain sepak bola.

Bagi Hanfing, bermain sepak bola era modern tak cukup mengandalkan skill dan fisik. "Harus paham cara bermain secara tim. Bagaimana saat menyerang, bertahan, positioning jika kalah bola, dan masih banyak lagi," ujar pria kelahiran Makasar yang telah menetap di Surabaya ini.

Hanafing lalu menjelaskan sejumlah taktik bermain sepak bola. Yang jamak dilakukan klub-klub besar. Dia lantas meminta satu pemain berada di sampingnya. Satu bola diambil, lalu ditempatkan tepat di depan kakinya. Hanafing lalu menunjukkan teknik pengusaan bola dari penjagaan lawan. 

"Bukan hanya tahu menggiring bola, tapi apa yang harus dilakukan ketika pegang bola. Itulah pemain yang cerdas," tegas Hanafing seraya menyodorkan bola kepada salah seorang pemain.

Hanafing juga menyoroti pemain yang kurang punya inisiatif. Main bola hapalan saja. Tidak kenal skema bermain yang jelas. Satu orang pegang bola, yang lain lebih banyak menunggu. Tidak membuka ruang. Tidak punya determinasi. Miskin kreativitas. 

"Semua harus bergerak. Satu orang pegang bola, empat lima orang segera bergerak maju. Bek bergerak. Gelandang melapis. Banyak alternatif menyerang yang bisa dilakukan," tutur Hanafing.

Sebaliknya bila tertekan segera persempit ruang gerak. Pemain lawan yang pegang bola segera marking. Tiga empat orang mengepung. Tak perlu sekali pressure. Apalagi harus melakukan pelanggaran. "Cukup disiplin menutup ruang gerak. Itu yang dibutuhkan," sebut Hanafing.

Hanafing (jongkong keedua dari kanan) | Foto: dok hanafing
Hanafing (jongkong keedua dari kanan) | Foto: dok hanafing
Tidak Kerasan di Diklat Ragunan

Hanafing bermain bola sejak SD. Bakatnya mulai terlihat saat dia terpilih ikut turnamen sepak bola antarpelajar di Makassar, tahun 1972. Kompetisi tersebut digelar secara periodik.  

Hanafing yang bertubuh mungil sangat lincah dan gesit bermain bola. Dia menjadi pemain yang paling diincar lawan. Selain memberi assist, dia juga kerap kali mencetak gol.

Dari turnamen itu, Hanafing terpilih masuk tim sepak bola pelajar se-Indonesia. "Waktu itu usia saya 15 tahun. Saya terpilih masuk Diklat Ragunan," katanya.

Di Diklat Ragunan, tim pelajar Indonesia digembleng latihan berat. Pagi dan sore harus melahap porsi latihan cukup berat. Di sana, dari urusan latihan, tempat tinggal hingga bangku sekolah mereka mendapatkan fasilitas terbaik.

Kendati semua kebutuhan dan fasilitas terpenuhi, Hanafing mengaku tidak kerasan. Pasalnya, masa itu, Diklat Ragunan masih sepi. Sore usai latihan, semua atlet dari berbagai cabang olah raga, tak bisa ke mana-mana. Paling banyak beraktivitas di dalam kamar. Jika malam, kerap mendengar auman suara binatang. Maklum, di sebelahnya ada kebun binatang.

Beberapa bulan di Diklat Ragunan, Hanafing mendapat kabar gembira. Dia dipanggil ikut seleksi PSM Makassar junior. Hasilnya, Hanafing lolos. Kala itu, PSM Makassar junior dilatih Suwardi Arlan, Solong, dan Saleh Bahan

Hanafing mendapatkan pembinaan sepak bola terbaik. Para pelatih PSM melihat potensi Hanafing. Bisa menjadi pemain besar. Skill dan fisiknya sebagai pemain sepak bola sangat mumpuni. Larinya cepat. 

Tahun 1979-1980, PSSI menggelar Kompetisi Galatama untuk kali pertama. Hanafing memimpikan bisa ikut kompetsi tersebut. Bisa berkiprah dan dikenal di level nasional.

Harapan itu baru terwujud pada tahun 1981. Ketika itu di Makassar ada klub yang ikut Kompetisi Galatama. Yakni, Makassar Utama dan Bima Kencana. "Para pemain PSM Makaasar junior bergabung di Bima Kencana," tutur Hanafing.

Hanafing merasakan atmosfer kompetisi yang menantang. Bertemu pemain-pemain hebat. Dari klub-klub terkenal macam Semen Padang, Tempo Utama, Caprina, dan Cahaya Kita.

Dia berusaha keras membuktikan diri menjadi yang terbaik. Sampai namanya masuk dalam radar Joao Barbatana, pelatih asal Brazil yang saat itu menukangi Tim Garuda I.

Barbatana didatangkan bukan oleh PSSI, tetapi saat itu dia tiba di Tanah Air untuk melatih klub Galatama, Tunas Inti. Namun, PSSI meminta Barbatana menangani pasukan muda Merah Putih. Masa itu, salah satu asisten pelatih lokal yaitu Edy Sofyan.

Hanafing masuk starting eleven Tim Garuda I. Saat bermain di Stadion Senayan (sekarang Stadion Utama Gelora Bung Karno). Hanafing terpantau oleh Agustinus Wenas, pemilik klub Niac Mitra. 

Wenas memberikan kesan baik dari penampilan Hanafing. Hingga, dalam satu kesempatan, Bima Kencana bertemu Niac Mitra. Kala itu Niac Mitra diperkuat pemain-pemain top, seperti Wayan Diana, Budi Aswin, Tommy Latuperisa, Yudi Suryata, Rudi Keltjes, Rae Bawa, Joko Malis, Hamid Asnan, dan Dullah Rahim.

Hanafing melakukan sliding | Foto: dok hanafing
Hanafing melakukan sliding | Foto: dok hanafing
Operasi Lutut

Agustinus Wenas akhirnya memboyong Hanafing ke Surabaya. Tahun 1982. Hanafing direkrut Niac Mitra. "Saya masih usia 18 tahun waktu itu. Saya tinggalkan kerja di bea cukai Makassar karena ingin jadi pemain nasional. Saya datang di Surabaya Bersama Om Basri (M Basri, pelatih Niac Mitra)," ungkap Hanafing.

Di Niac Mitra, Hanafing tidak masuk daftar pemain inti. Dia harus berjuang bareng pemain muda Niac Mitra lainnya, di antaranya Jessie Mustamu, Jaya Hartono, Freddy Mully, M Kusnan, Eduard Mangilomi dam M. Zen Alhadad.

"Satu tahun saya baru bisa masuk pemain inti di Niac Mitra. Satu tahun berikutnya saya berseragam Timnas," cetus pria yang telah menjadi warga Surabaya ini.

Selama 8 tahun Hanafing bermain di Timnas. Dia merasakan dilatih Iswadi Idris, Abdul Kadir, dan Sinyo Aliandoe. Dan yang paling berkesan tentu saat Timnas diarsiteki Anatoli Polosin. Yang menerapkan latihan fisik super berat. Mirip latihan militer.

Beberapa contoh latihan keras itu di antaranya mendaki gunung, lari di jalan tol. Di lapangan, mereka diminta lari keliling hingga belasan kali. Bahkan sampai harus berlari dengan menggendong rekan se-timnya.

Selain itu, menu latihan tiga kali. Bahkan ketika pemain sudah selesai latihan, masih ada sesi tambahan lari 15 menit. Semuanya demi mengubah mentalitas pemain Timnas menjadi pemain yang berkarakter dan punya mental baja.

"Banyak pemain bintang yang mundur saat itu karena tak kuat mengikuti latihan Polosin," ungkap Hanafing.

Hasil yang dirasakan dari sentuhan Polosin itu sungguh luar biasa. Pasalnya, Timnas masa itu sangat mampu bermain selama 90 menit. Punya kecepatan dan daya tahan yang kuat.

Sejarah mencatat, di tangan Polosin, Timnas Indonesia mampu meraih medali emas SEA Games 1991 di Manila, Filipina. Itulah emas terakhir SEA Games dari sepak bola yang hingga sekarang belum terpecahkan.

Di SEA Games Manila, Hanafing yang bermain di sayap kiri menjadi pemain incaran lawan. Dia kerap mendapat tekel keras. Pada babak semifinal melawan Filipina, Hanafing mendapat tekel horor. Dia sempat dirawat di pinggir lapangan dan kemudian diganti.

Di final, Hanafing tak bisa tampil penuh lantaran cedera. Lututnya tak bisa diajak kompromi. Beruntung, Timnas Indonesia bisa menang melawan Thailland lewat adu penalti.

Sepulang dari SEA Games, Hanafing harus menjalani operasi lutut. Dia masih sempat memperkuat Niac Mitra sampai klub kebanggaan Arek-Arek Suroboyo itu resmi bubar pada 24 September 1990. Ini menyusul kekecewaan Agustinus Wenas dengan aturan PSSI yang melebur kompetisi Perserikatan dengan Galatama. 

Hanafing sangat sedih Niac Mitra bubar. Klub itu yang membesarkan namanya. Klub tersebut akhirnya di-take over Dahlan Iskan (waktu itu bos Jawa Pos). Dahlan mengantinya menjadi Mitra Surabaya. Naman faktanya, Mitra Surabaya tidak semelegenda Niac Mitra. (agus wahyudi)   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun