***
Surabaya punya satu satu impian belum terwujud. Yakni, membangun megaproyek angkutan masal cepat (AMC). AMC akan dilalui monorel dan trem. Proyek AMC dianggarkan sekitar Rp 8,6 triliun. Direncanakan pada tahun 2015. Ketersediaan angkutan massal itu diharapkan menjadi alternatif mengatasi problem transportasi di Surabaya.
Ada beberapa hal pantas dicermati terkait megaproyek AMC ini. Pertama, AMC bisa dibuktikan sebagai alternatif paling relevan untuk Surabaya. Sebab, sebelumnya, Wali Kota Tri Rismaharini menolak pembangunan tol tengah yang sudah tercantum dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah Nasional dalam UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang. Alasannya, akses tol tidak akan membantu warga sekitarnya. Penolakan Risma tersebut pada ujungnya memantik polemik panjang. Risma sempat berhadapan pressure politik dari kalangan anggota legislatif.  Â
Kedua, AMC harus bisa menjadi membuktikan kalau kemacetan Surabaya bisa terurai. Data Bappeko Surabaya, 70 persen warga kota Surabaya merupakan pemakai angkutan pribadi, 30 persen pengguna angkutan massal. Pun pertumbuhan motor 10 persen per tahun dan pertumbuhan mobil melebihi 5 persen perta tahun yang tak mampu diimbangi pertumbuhan jaringan atau kapasitas jalan yang rata-rata naik 4 persen per tahun. Harapannya dengan AMC bisa berbalik. 70 persen warga menggunakan angkutan massal, 30 persen pengguna angkutan pribadi. Jika demikian, kemacetan akan terurai.
Ketiga, Pemkot Surabaya tak mungkin membangun AMC sendiri. Kekuatan APBD Surabaya sekitar Rp 9,5 triliun. Pelibatan swasta atau pihak ketiga menjadi keniscayaan. Tentunya hal ini sekaligus mempertimbangkan untung rugi. Juga berapa besar nilai aset yang dimiliki dan sampai kapan modal investor harus balik.
Selama ini, kerja sama pengelolaan menggunakan model build operate transfer (BOT) atau bangun guna serah. Di mana pengelolaan diserahkan swasta atau konsorsium dengan jangka waktu tertentu. Jika telah melewati waktunya, semua aset milik pemerintah kota.Â
Pengalaman di Surabaya, BOT tersebut kerap kali menjerat aset. Nilai kompensasi yang diterima pemerintah daerah sangat rendah. Sementara aset pemerintah kota sudah dibangun menjadi pasar, sarana olah raga, mal, dan sebagainya.
Model kerjasama lain dengan build transfer operate (BTO) atau bangun serah guna. Dimana setelah AMC selesai dibangun oleh pihak ketiga, aset akan langsung diserahkan kepada pemerintah daerah, untuk kemudian dioperasikan oleh pihak ketiga tersebut selama jangka waktu tertentu. Managemen di-handle oleh mitra selama jangka waktu kontrak, dengan perjanjian untuk berbagi keuntungan (profit sharing).
Dalam konteks BOT atau BTO tersebut, idealnya, pemerintah kota bisa lebih dulu menyiapkan perangkat kelembagaan. Salah satunya dengan membentuk semacam badan usaha milik daerah (BUMD). Ini memungkinkan jika kerjasama dengan pihak ketiga atau mitra dapat berjalan dalam skema yang lebih fleksibel, business-friendly, serta lepas dari kekakuan birokrasi. Pilihan ini juga bukan tanpa risiko. Pasalnya, tuntutan profesionalisme pengelolaan menjadi taruhannya. Â Â
Keempat, terkait batasan tarif. Fasilitas transportasi massal, baik monorel maupun trem, berorientasi memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat harus bisa merasakan kenyamanan dan keamanan bila menggunakan moda transportasi publik. Makanya, harus ada survei riil sebelum menentukan tarif AMC yang benar-benar bisa terjangkau masyarakat.Â
Berapa besar kepastian subsidi yang akan diberikan melalui regulasi pemerintah.  Komitmen tersebut diperlukan karena jika 100 persen proyek AMC ini dibebankan kepada pihak ketiga, jatuhnya tarif pasti mahal. Bagaimana pun, masuknya  investasi harus korelatif dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.