Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hari Kemenangan

23 Mei 2020   16:31 Diperbarui: 23 Mei 2020   20:38 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto:antaranews.com

Angka dan huruf dalam kalender Masehi yang jadi rujukan. Dirunutnya ke belakang. Dari dua tanggal merah yang menandai libur Hari Raya Idul Fitri. Yang dia tahu, ibadah puasa dijalani selama dua puluh sembilan hari. Dan kini, masih tersisa delapan hari sebelum memasuki 1 Syawal. Hati Nirwan benar-benar berbuncah. Tak lama lagi, hari kemenangan itu tiba, decak hatinya.

Banyak orang heran dengan aktivitas Nirwan ini. Saban hari Sabtu dan Minggu, ia tak pernah melewatkan pergi ke gereja bersama istri dan tiga anaknya. Nirwan mengajari keluarganya menjadi penganut Katolik yang taat. Tapi, di setiap Lebaran, dia juga larut dalam suka cita. 

Unjung-unjung (tradisi bermaaf-maafan) tak pernah dilewatkan. Keluarga, kerabat, sahabat, dan tetangganya ia sambangi. Ia sampaikan permintaan maaf. Di rumah, Nirwan juga tak melawat tradisi menyantap makanan khas Lebaran. Ketupat, sambal goreng ati, roti maryam, dan gule kacang ijo. Tak ketinggalan makanan-makanan kering, kue spiku, lapis legit, dan emping melinjo.

Teman-teman jamaah gerejanya melihat Nirwan sosok yang eksentrik. Sebagai aktivis gereja, Nirwan kerap berdebat keras menentang gerakan pemaksaan keyakinan. Nirwan kerap berdebat keras dengan sejumlah pastor dan misionaris.

Kekerasan dan radikalisasi atas nama agama berawal dari munculnya pemaksaan keyakinan itu, Pak. Itu termasuk adanya monopoli kebenaran. Tidak ada hak bagi manusia yang merasa menjadi wakil Tuhan di muka bumi, ucap Nirwan, suatu ketika dalam diskusi dengan pastor di gerejanya.

Beberapa waktu lalu, Nirwan mudik ke Caruban. Tiba di kampung halaman, hatinya risau. Masjid yang sudah berdiri sejak ia masih bocah, kondisinya sungguh mengenaskan. Sangat lusuh. Dindingnya berkabut lumut. Pagarnya reyot dan bersisik. Beberapa bangunan di bagian atas dan samping retak-retak dan bergelombang. Di kamar belakang berasa bau apek.

Nirwan sesungguhnya ingin membangun masjid itu dengan duit pribadinya. Namun dia takut warga salah tafsir. Diajaklah kawan-kawan sepermainan dia urunan. Seikhlasnya. Nirwan juga melobi sejumlah aparat desa yang dikenalnya.

Nirwan menghitung luasan lantai yang basah. Butuh karpet untuk menyelimutinya. Lantas dihampirinya mimbar. Ia minta kran air buat wudhu dibuka. Terdengar deras gemiricik air. Suara air itu bisa mengganggu bila ada ustad berdiri di sini. "Kasihan ustadnya, ceramahnya pasti sering terganggu suara air."

Kalo mau dipindah, di mana? Yang ada luas di samping pagar itu, Mas. Tapi butuh banyak material sebagai jalannya jamaah, usul Pak Sukri.

Bisa, Pak. Posisinya memang harus dipindah lebih ke luar. Kalau perlu jumlah krannya ditambah. Tapi ini sekedar usul, sela Nirwan, yang dua tahun belajar belajar civil engginering di Iowa University, itu.

Warga mengamini. Seterusnya, kebutuhan material untuk pembangunan silih berganti datang. Tak lewat sebulan, masjid itu berbenah. Lebih rapi, bersih, dan wangi. Kebutuhan biaya operasional untuk relawan yang ikut merawat masjid tak luput dari perhatian Nirwan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun