Perasaan itu datang lagi. Setelah sepuluh tahun. Kosong. Kecemasan mendera. Kebingungan datang dari segala arah. Rasanya, ajalku makin dekat. Mengapa tiba-tiba aku begitu cemas dengan datangnya kematian?
Empat hari lalu, tepatnya di malam Senin Wage, mimpi buruk itu datang lagi. Sesosok bayangan berjubah putih teronggok di depanku. Wajahnya tak jelas. Perawakannya tinggi besar. Suaranya berat. Samar-samar kudengar erangan. Berkali-kali. Seolah hampir menyentuh bibirku. Kulihat dia melambaikan tangan. Menyapa di tengah kegelapan. Mungkinkah bayangan itu sang malaikat pencabut nyawa? Entahlah.
Tubuhku menggigil. Peluh membasahi kaus putih yang menyelimuti tubuhku. Mulutku tak kuasa menganga, mengucap sepatah kata. Ya Allah, tiada kekuatan yang bisa melebihi kasihMu. Maka, cintailah aku, ya Allah, desir batinku menyeruak.
Aku tersengat. Teringat hamparan dosa yang melumuri perjalanan hidupku. Yang terus kuulangi tanpa pernah kusesali. Ah, naif betul aku. Kala kekalutan mendera, ku tersadar atas segala kesalahan. Prasangka dan amarah datang silih berganti. Betapa rapuhnya aku. Di saat ketakutan menyergap. Lamat-lamat aku mengingat semua kedurhakaan dan kehinaan.
Napasku bergerak cepat. Kuingin segera terjaga. Melepaskan diri dari gumpalan udara yang menindih jantung. Menampik gelombang besar yang menyeret pikiran. Namun, akhh.. tangan, kaki, dan sekujur tubuhku tak bisa beranjak.
Mungkin, inilah akhir segalanya. Akhir dari semua cerita hidupku. Hidupku harus berhenti. Tanpa daya. Kupasrahkan diri terhanyut dalam kegelapan. Kutenggelamkan diri mengikuti suara angin yang berembus dan berjalan agak lamban. Sampai tak sempat lagi aku bermunajat, memohon keselamatan agar semua dosaku terampuni.
Sesosok bayangan berjubah putih itu bercokol lagi. Kali ini, ia makin mendekat. Samar-samar, kutatap lekat dirinya. Kupandangi langit-langit wajahnya. Kucecap aroma tubuhnya. Aku ingin melihat senyumannya, namun kutunggu sekian lama tak tergerai sedikit pun. Desahan suaraku menyembul seiring dengan gundukan perasaan yang terpendam.
Sesosok berjubah putih itu masih terdiam. Menerawang dalam bayang-bayang. Kini, dia pun mendekat, terus mendekat, mendekat. Aku pun terjaga
***
Sesungguhnya, sudah sekuat tenaga aku mencoba redakan diri menghindar dari kecemasan. Aku kerap mendatangi masjid. Bahkan yang tak terlewatkan di malam hari. Meneriakkan takbir, bersujud selama mungkin. Kupanjangkan dzikir. Aku mengadu atas segala kekhilafan.